Warta

Rais Syuriyah PWNU Jatim: Jangan Keliru Pilih Pemimpin

Sabtu, 1 November 2008 | 09:01 WIB

Surabaya, NU Online
Pemilihan gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) yang akan dilangsungkan pada 4 November nanti tinggal menghitung hari. Tingginya persaingan antar kandidat semakin terasa. Apalagi ada dua kader NU di sana, yaitu Khofifah Indar Parawansa (Ketua Umum PP Muslimat nonaktif) yang maju sebagai calon gubernur dan Saifullah Yusuf (Ketua Umum PP GP Ansor nonaktif) yang maju sebagai calon wakil gubernur.

Dalam posisi itu Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Miftachul Akhyar mengingatkan agar warga NU tidak golput dan juga tidak salah pilih. Sebab keduanya memiliki risko. Kiai Miftah meminta agar warga NU bisa menggunakan hal pilihnya dengan baik dalam Pilgub nanti.<>

Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah Kedungtarukan Surabaya itu mengingatkan untuk tidak memilih kader yang mempunyai track record kurang baik, suka mengobok-obok dan mengacak-acak internal NU serta suka berjalan zig-zag dalam dunia perpolitikan sehingga dikesankan sebagai 'kutu loncat'.

“Demi memenuhi ambisi yang besar, ia melakukan apa saja, termasuk dengan loncat ke sana dan ke mari. Ini pertanda calon itu kurang baik, tidak bisa dipercaya menjadi seorang pemimpin,” kata Kiai Miftah yang disampaikan khusus kepada NU Online di Kantor PWNU Jawa Timur, Jl Masjid Al-Akbar Timur 9 Surabaya, Sabtu (1/11).

Kiai Miftah mengingatkan kembali pada Qanun Asasi Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari yang memerintahkan untuk tahaqquq (menelusuri) asal usul seorang calon pemimpin sejak awal. Tidak bisa cukup melihat hasil kampanye, tapi harus dilihat juga perjalanan dia sejak jauh sebelum dia maju sebagai calon gubernur.

Ia menambahkan, dalam tradisi NU, jika ada kader yang lebih baik siap maju, apalagi menempati posisi yang lebih strategis, mestinya kader yang lain mempersilakannya. Dia segera mundur memberi jalan. Bukan malah menantang bertarung di gelanggang terbuka. “Jangan sampai NU ketularan penyakit seperti itu,” imbuhnya.

Kiai Miftah juga menyitir sebuah kaidah ushul fiqih yang menyebutkan bahwa menolak mafsadah (kerusakan) itu harus lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. “Orang mulai lupa, malah dibalik, sekarang lebih suka mengambil manfaat lebih dulu tanpa memperhitungkan kerusakan yang akan ditimbulkan di kemudian hari,” jelas kiai alumnus beberapa pondok pesantren salaf itu.

Putra menantu dari Syeikh Masduqi Lasem itu mengaku perlu mengingatkan hal itu karena dirinya merasa sedang diamanati sebagai pimpinan. Menurut Kiai Miftah, dalam konteks maslahah dan mafsadah yang bisa lebih tahu adalah pemimpin, karena itu ia merasa berkewajiban untuk menyampaikannya.

“Jangan sampai kita keliru memilih pemimpin, sebab akan berdampak pada jam’iyah kita juga,” katanya. (sbh)


Terkait