H Mahrus Ali, penulis buku Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik, menyatakan bersedia untuk kembali melakukan debat terbuka terkait bukunya. Namun, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menanggapi dingin kesediaan penulis buku kontroversi itu.
PWNU Jatim menganggap persyaratan yang diajukan Mahrus terlalu mengada-ada dan tidak mencerminkan sebagai sebuah forum ilmiah yang bisa diikuti semua kalangan. Pasalnya, Mahrus meminta debat terbuka itu dilakukan satu per satu di kediamannya dan tidak diperkenankan mengerahkan massa.<>
“Itu namanya permintaan yang mengada-ada. Tidak ketemu nalar sehat itu,” ujar Wakil Katib Syuriyah PWNU Jatim, KH Abdurrahman Navis, kepada NU Online di Surabaya, Rabu (7/5).
Menurut Navis, forum pertanggungjawaban ilmiah tulisan Mahrus itu seharusnya dilakukan secara terbuka. “Bukan malah dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Kalau debat dilakukan satu persatu di rumah, apalagi sampai harus bergantian, itu bukan debat terbuka namanya, tapi ujian tesis,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan Wakil Katib Syuriyah PWNU Jatim KH Abdullah Syamsul Arifin. Ia mengaku tak bisa memahami permintaan Mahrus untuk menggelar debat terbuka itu. Jika permintaan itu dipenuhi, katanya, sangat tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan dari buku terbitan La Tasyuk! itu.
“Bagaimana mungkin, keresahan jamaah NU yang ditimbulkan oleh sekian ribu buku hasil tulisan dia, hanya diperbaiki dengan datang ke rumahnya satu persatu? Itu pun kalau dia jujur. Bilang saja kalau tidak berani,” papar Gus A’ab—begitu panggilan akrabnya.
12 Maret lalu, Mahrus diundang dalam debat terbuka terkait bukunya di Aula Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Namun, ia tidak hadir atas alasan keamanannya tak terjamin dalam acara tersebut.
Debat terbuka tetap digelar meski hanya dihadiri penulis kata pengantar dalam buku itu, KH Muammal Hamidy. Namun, saat itu juga, ia mengakui jika dirinya tak paham dan tak menguasai permasalahan.
Senin (5/5) lalu, ia mengaku siap hadir jika debat terbuka itu digelar kembali. Namun, ia meminta acara tersebut dilakukan di kediamannya dan tidak boleh mengerahkan massa. Debat pun harus dilakukan satu per satu. “Sebab kalau ramai-ramai, apalagi sampai membawa massa, jadinya tidak bisa ilmiah lagi,” tutur Mahrus beralasan. (sbh)