Potensi ekonomi syariah di Indonesia sangat besar dan diperkirakan akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Namun sayangnya potensi ini kurang mendapat perhatian dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Diskusi Syahriyah Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 25 April 2008 lalu mengambil tema ”Implementasi Ekonomi Sayariah untuk Meningkatkan Kaum Nahdliyin.”<>
Hadir sebagai pembicara kunci KH Musthofa Zuhad Mughni, ketua PBNU yang membidangi ekonomi, KH Ma’ruf Amin, rais syuriyah PBNU yang juga ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Mahmoud Ali Zaen, ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) yang telah sukses dalam mengembangkan bisnis ekonomi syariah dan Agus Mukharram, Deputi Departeman Koperasi.
Musthofa Zuhad menyatakan, aktivitas warga Nahdliyin untuk menggeluti ekonomi syariah sudah sejak lama dan pengembangannnya sangat pesat, namun itu dianggap kurang memadahi dibandingkan dengan potensi yang ada. Beberapa bank perkreditan dan koperasi yang didirikan lebih banyak bersifat konvensional.
”Kita beberapa tahun ini sudah mengadakan pelatihan di beberapa daerah. PBNU mengharapkan setiap kepengurusan NU di tingkat kecamatan atau majelis wakil cabang (WMC) segera mendirikan koperasi simpan pinjam syariah. Sementara ini baru ada beberapa saja yang sudah ada,” katanya.
Dikatakan Musthofa Zuhad, dalam waktu dekat ini para pengusaha Timur Tengah akan membeli obligasi syariah di Indonesia senilai 12 milyar dollar AS. Diperkirakan akhir tahun ini dana sebesar itu akan dicairkan.
”Ini kesempatan bagi kita, oleh karena ini kita harus menyiapkan wadah sebanyak-banyaknya, jika tidak uang tersebut akan lewat begitu saja,” katanya.
KH Ma’ruf Amin mengharapkan forum kajian keagamaan di lingkungan NU tidak hanya terkonsentrasi pada persolan politik (siyasiyah) seperti sekarang ini. Pembahasan perlu dialihkan pada persoalan ekonomi (iqtishodiyah).
”Perkembangan syarah perkembangannya cukup hebat, masa NU hanya sebagai penonton. Kenapa demikian? Karena kia tidak dapat mengimplementasikan konsep-konsep ajaran yang kita peroleh di pesantren. Kita belum memadukan antara figh yang kita ketahui dengan kehidupan keseharian kita,” katanya. (nam)