Sejumlah pemimpin pondok pesantren mempertanyakan kebijakan pemerintah daerah terkait pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan tahun 2006. Dalam tata cara pelaksanaan DAK tersebut, pondok pesantren tradisional atau pesantren salafiyah termasuk sasaran yang dialokasikan.
Namun ternyata Dinas Pendidikan Kabupaten Padangpariaman tidak mengalokasikan sedikitpun untuk pesantren salafiyah. Buntutnya pimpinan pondok pesantren mendatangi DPRD dan Kantor Bupati Padangpariaman mempertanyakan dimana posisi salafiyah dalam DAK tersebut.<>
Demikian cuplikan ’kisah’ dalam buku ”Mereka Yang Terlupakan, Tuanku Menggugat” yang ditulis Bagindo Armaidi Tanjung, S.Sos. dan diluncurkan di Padangpariaman, Kamis (15/5). Pimpinan pondok pesantren yang bergelar tuanku itu kini “menggugat”.
Jika sebelumnya pimpinan pondok pesantren enggan menerima bantuan dari pemerintah karena selalu terkait dengan aturan administrasi yang terkadang “berlawanan” dengan keyakinan pimpinan pondok pesantren, karena pimpinan pondok pesantren tidak pernah bersentuhan dengan prosedur administrasi dalam mengelola pondok pesantrennya.
”Semuanya diserahkan kepada nilai-nilai keikhlasan, redho Allah SWT. Akan tetapi kini kondisi demikian mulai berubah. Para pimpinan pondok pesantren pelan-pelan mau mengikuti aturan administrasi di instansi pemerintah. Apalagi sejumlah pimpinan (atau wakilnya) pondok pesantren sudah makin sering diundang Kantor Departemen Agama untuk mengikuti berbagai pelatihan,” kata Armaidi di sela-sela peluncuran buku.
Selain itu, pimpinan pondok pesantren dalam perkembangan berikutnya mulai menyadari bahwa untuk membantu pengembangan dan pembangunan pondok pesantren mau tidak mau harus mengikuti aturan-aturan administrasi bernegara.
”Kalau tidak, yang rugi kita sendiri. Tidak dapat bagian. Sementara orang lain makin banyak mendapatkan anggaran dana yang memang diperuntukkan untuk pondok pesantren,” katanya. (arm)