Pondok pesantren di Indonesia sangat kaya dengan cita rasa seni. Lihat bagaimana cara pesantren menerjemahkan kitab kuning. Pilihan kata-kata dari bahasa daerah yang digunakan sangat bagus. Itu pun masih dibacakan dengan dengan mendayu-dayu.
Demikian disampaikan penyair ‘Celurit Emas’ D. Zawawi Imron dalam diskusi Kemisan di ruang redaksi NU Online, Jakarta, Kamis (19/8). “Saya yakin perintis metode pembelajaran di pesantren itu merupakan seorang seniman,” katanya.<>
Beberapa kitab yang digaji juga syarat dengan pilihan kalimat yang indah. Bahkan beberapa kitab yang dikaji di pesantren memang disajikan dalam bentuk nadzam atau syair dengan rima tertentu.
Kalimat-kalimat yang bernuansa sastrawi dan berisikan ajaran-ajaran tentang hidup itu menuntun para santri dan masyarakat ke jalan yang diridhai oleh Allah Sang Pencipta.
“Ada di kalimat dari Sunan Derajat yang isinya, Jadilah kalian orang orang bisa merasa, jangan menjadi orang yang merasa bisa. Ini telah mengilhami tindak-tanduk masyarakat,” kata seniman asal Madura itu.
Banyak kangan memberikan julukan khusus terhadap karya sastra yang muncul dari pesantren, yakni sastra pesantren. Termasuk Zawawi Imron juga tak jemu-jemu menyebutkan istilah ini.
Namun kata Zawawi, jangan tergesa untuk memberikan definisi sastra pesantren terhadap karya-karya yang baru muncul, yang sedang mencari bentuk, meski bernuansa pesantren. Karya Abdul Hadi dan Taufiq Ismail lebih religius dari karya para santri, apakah ini disebut sastra pesantren juga?
“Jangan terburu-buru memberikan julukan. Tapi untuk karya yang disajikan dalam bahasa lokal Jawa atau Madura, atau dengan bahasa Arab, yang benar-benar muncul dari pesantren dan belum ada yang membuat seperti itu maka bisa kita katakan saja sebagai sastra pesantren,” demikian Zawawi. (nam)