Warta

Pesantren harus Peka Hadapi Tantangan Baru

Jumat, 30 Mei 2008 | 02:32 WIB

Jakarta, NU Online
Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang keberhasilannya ditentukan oleh masanya dan setiap masa memiliki tantangannya sendiri. Karena itu, pesantren harus peka menghadapi tantangan baru

Demikian dikatakan oleh pakar pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad pada diskusi bulanan Lembaga Bahtsul Masail dengan tema Dilema Pendidikan Pesantren: Antara Mempertahankan Karakteristik dan Menerima PP No 55/2007 di Gedung PBNU, Kamis (29/5).<>

“Pesantren bukan lembaga yang hidup-mati closed system yang tak boleh dan tak perlu ada perubahan, sebab sistem pesantren yang lalu itu keberhasilannya ditentukan oleh masanya dan setiap masa memiliki tantangan dan pesantren harus lebih peka menghadapi tantangan baru,” katanya.

Jika tidak ada upaya untuk melakukan sebuah perubahan, Winarno khawatir pesantren akan dikagetkan oleh dampak yang tidak akibat perbuatan yang dilakukannya sendiri akibat berfikir self-sufficient.

Winarno menyesalkan pandangan sebagian orang yang menganggap pesantren secara sempit dengan fanatisme yang tinggi sehingga tak mau melakukan perubahan. Sebagian anggota masyarakat juga salah menilai pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk mendisiplinkan anak.

“Anaknya yang tak disiplin dikirim ke pesantren, akhirnya pesantren hanya dilihat sebagai tempat untuk pendisiplinan, seperti penjara saja, apalagi kalau anaknya kena narkoba. Ini mengecilkan makna pesantren, tak hanya itu yang dilakukan oleh pesantren,” paparnya.

Pesantren menurutnya merupakan sebuah sistem pendidikan nasional yang akan melahirkan sebagian pemimpin bangsa. Sistem yang memiliki keterbukaan dan belajar dari kehidupan ini mampu mengisi ruang-ruang kosong akibat berbagai macam standarisasi yang dilakukan pemerintah sehingga tak ada keragaman dalam berfikir para anak didik.

“Pesantren mempelajari kehidupan, apa lagi yang lebih kuat selain kehidupan. Pesantren kurikulumnya kehidupan, dijatuhkan, dibesarkan dan diberi makna dalam kehidupan, ini yang saya rasa lebih penting,” tandasnya.

Sementara itu Ketua LP Maarif NU Dr M Toyyib dalam kesempatan yang sama menyayangkan penyamaan kategori antara SD dan Madrasah, padahal kedua-duanya memiliki jati diri sendiri.

“Kebijakan mengenai madrasah sudah kebablasan, diidentikkan dengan SD. Dalam standar kurikulum, hanya disebutkan bahwa di madrasah ada pendidikan agama Islam, sama dengan sekolah, sama persis, apa memang harus demikian, jati diri madarasah hilang,” katanya.

Perubahan kebijakan ini diakibatkan para pejabat yang mengurusi madrasah di Depag tak memahami institusi pendidikan ini. Mereka seharusnya belajar kepada NU bagaimana mengelola dan mengembangkan madrasah. (mkf)


Terkait