Warta

Pesantren Dapat Berakulturasi dengan Budaya Modern

Selasa, 26 Mei 2009 | 01:27 WIB

Bogor, NU Online
Komunitas pondok pesantren sering kali dianggap terbelakang dan tertinggal dalam banyak hal. Salah satunya soal teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Komunitas pesantren sering dianggap gaptek alias gagap teknologi.

Anggapan tersebut dibantah oleh Pengasuh Pesantren Daarul Mughni Al-Maaliki Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, KH Mustofa Mughni.<>

Kepada Antara di Bogor, Senin (25/5) Mustofa mengatakan bahwa komunitas pesantren merupakan garda terdepan di segala bidang. Karena itu tidak ada istilah pesantren tertinggal atau terbelakang. Kalaupun masih terlihat tradisional, hal itu hanya dari tampilan atribut dan kultur saja.

“Saya kira kalangan pesantren pun menyadari betapa pentingnya penyesuaian diri terhadap dinamika masyarakat. Pesantren dapat berakulturasi dengan budaya modern. Karena itu berbagai perkembangan yang terjadi selalu diperhatikan dan diikuti pesantren,” papar alumnus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Mustofa lantas menyontohkan apa yang dialami dan dilakukannya di pesantren yang dipimpinnya. Santri yang dibimbingnya mendapatkan kesempatan untuk belajar komputer dan berbagai akses media informasi terkini seperti komputer dan internet.

Lebih lanjut kiai yang menamatkan studi di Pesantren Daarul Rahman Jakarta ini memaparkan, di pesantrennya para santri dan guru pun sudah diajari cara mengoperasikan laptop. Bahkan semua guru pesantren diwajibkan memiliki laptop.

“Pesantren kami sangat sederhana, karena umumnya santri berasal dari masyarakat menengah ke bawah. Namun karena kebutuhan informasi dan untuk menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar, kami menerapkan kebijakan penggunaan laptop,” ujarnya.

Ahmad Fauzi salah seorang staf pengajar Pesantren Daarul Mughni menambahkan, dengan kebijakan tersebut kalangan guru merasa terbantu dalam melaksanakan tugas mengajar. Ada banyak kemudahan yang dirasakan dalam menyiapkan materi ajar.

“Kebijakan yang diterapkan pesantren sangat membantu guru dalam mengajar santri,” imbuhnya.

Fauzi lantas menyebutkan, dalam mengajar materi kitab kuning alias kitab klasik, guru mendapatkan banyak kemudahan. “Selain kita bisa membuka langsung kitab dari CD digital Maktabah Syamilah, juga bisa mengaktualisasi materi ajar dengan isu kontemporer.”

Baejuri menimpali, apa yang dilakukan Daarul Mughni merupakan bentuk akulturasi budaya yang dilakukan kaum santri, karena memadukan dua budaya secara berdampingan pada saat bersamaan.

“Kitab Kuning dan laptop merupakan dua model budaya yang berbeda, namun dapat dipertemukan. Hal ini menunjukkan santri mampu beradaptasi dengan perubahan masyarakat global. Karenanya saya kira pesantren akan mampu menghadapi berbagai tantangan yang terjadi pada setiap zamannya.” (hir)


Terkait