Warta

Peran Kiai Menyempit

Selasa, 8 April 2008 | 19:41 WIB

Yogyakarta, NU Online
Peran penting kiai dalam sejarah telah menjadi catatan besar. ‎Akan tetapi, akhir-akhir ini terjadi kemerosotan. Peran tersebut ‎menyempit hanya sebatas peran-peran ritual dan peribadatan. Maka ‎perlu ada rekontekstualisasi peran kiai di tengah-tengah masyarakat.

Hal tersebut ‎mengemuka dalam ”Forum Sillaturrahim Kiai Se-Sleman” yang dihadiri 90 kiai di ‎Pesantren An Nasyath Mlangi, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (6/4) lalu. Demikian dilaporkan kontributor NU Online Anis Masduki dari Sleman Yogyakarta.<>

Forum tersebut menjadi penting dalam rangka mengukuhkan ‎ukhuwwah nahdhiyyah (komunikasi antar warga NU) yang seringkali tercabik-cabik oleh beberapa even ‎politik seperti pilkada atau pilgub. Ukhuwwah nahdhiyyah ini direkatkan ‎untuk mengoptimalkan peran sosial keagamaan kiai.

Berbagai persoalan ‎bangsa dan sosial kemasyarakatan telah mengundang keprihatian para kiai ‎sekaligus untuk mengoptimalkan sumbangan-sumbangan konstruktif para ‎kiai dalam berbagai persoalan-persoalan tersebut. Dengan forum ‎sillaturrahim ini diharapkan pemikiran-pemikiran kiai dapat ‎terkristalisasikan dan memiliki daya dorong yang kuat dalam mempengaruhi ‎kebijakan publik dan masyarakat.‎

Pertemuan yang dihadiri Wakil Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Malik Madani itu berhasil ‎menjaring keresahan warga terhadap berbagai fenomena keagamaan dan kemasyarakatan. Fenomena puritanisme ‎Islam yang semakin menguat menyerang basis-basis warga NU menjadi poin pertama.

Kalangan Islam ’garis keras’ itu telah berhasil mendangkalkan akidah ahulussunnah mereka, di samping merampas ‎musholla dan masjid yang selama ini dirawat dengan baik. Sementara organisasi tersebut digerakkan dengan ‎dukungan dana kuat, manajemen yang rapi, dan jaringan internasional yang ‎luas. Pada level inilah diperlukan peran kiai-kiai yang tidak hanya mampu ‎memotret fenomena ini akan tetapi menyiapkan solusi konseptual, ‎sistematis dan dilaksanakan secara terorgansir.‎

Poin kedua adalah lemahnya NU sebagai jam’iyyah. Ini adalah wacana klasik yang sampai sekarang ‎masih menjadi titik kelemahan NU di mana-mana. Berbagai usaha yang ‎dilakukan untuk memecahnya seringkali berhenti di tengah jalan. NU ‎sebagai jam’iyyah seakan tak lagi mempunyai daya magnetis kuat untuk ‎menarik warga NU berkecimpung, merumat dan membesarkan NU. Banyak ‎jaringan struktural NU terbengkalai karena kurangnya kepedulian warga NU ‎sendiri, baik struktural maupun kultural.

Bahkan, kata kata KH Mas’ud Masduki, ‎Rais Suriah Pengurus Cabang NU Sleman, ada kasus dimana stempel NU sudah tidak diperhatikan lagi. “Jika begini yang ada bukan NU struktural akan ‎tetapi malah NU Strok,” Imbuhnya. Hal ini dikarenakan NU tidak lagi bisa ‎dirasakan manfaatnya. Atau jika tidak ormas-ormas yang didirikan warga NU ‎di luar organisasi NU justru kadang berbenturan dengan kepentingan NU ‎sebagai organisasi. ‎

KH Malik Madani menekankan agar NU memperkuat kerja-kerja sosial di ‎samping keagamaan. Inilah salah satu substansi ikhtiar rekontektualisasi ‎peran NU. Karena NU adalah organisasi diniyyah (keagamaan) dan ijtima’yyah (kemasyarakatan) sekaligus. ‎(nis)


Terkait