Peran penting kiai dalam sejarah telah menjadi catatan besar. Akan tetapi, akhir-akhir ini terjadi kemerosotan. Peran tersebut menyempit hanya sebatas peran-peran ritual dan peribadatan. Maka perlu ada rekontekstualisasi peran kiai di tengah-tengah masyarakat.
Hal tersebut mengemuka dalam ”Forum Sillaturrahim Kiai Se-Sleman” yang dihadiri 90 kiai di Pesantren An Nasyath Mlangi, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (6/4) lalu. Demikian dilaporkan kontributor NU Online Anis Masduki dari Sleman Yogyakarta.<>
Forum tersebut menjadi penting dalam rangka mengukuhkan ukhuwwah nahdhiyyah (komunikasi antar warga NU) yang seringkali tercabik-cabik oleh beberapa even politik seperti pilkada atau pilgub. Ukhuwwah nahdhiyyah ini direkatkan untuk mengoptimalkan peran sosial keagamaan kiai.
Berbagai persoalan bangsa dan sosial kemasyarakatan telah mengundang keprihatian para kiai sekaligus untuk mengoptimalkan sumbangan-sumbangan konstruktif para kiai dalam berbagai persoalan-persoalan tersebut. Dengan forum sillaturrahim ini diharapkan pemikiran-pemikiran kiai dapat terkristalisasikan dan memiliki daya dorong yang kuat dalam mempengaruhi kebijakan publik dan masyarakat.
Pertemuan yang dihadiri Wakil Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Malik Madani itu berhasil menjaring keresahan warga terhadap berbagai fenomena keagamaan dan kemasyarakatan. Fenomena puritanisme Islam yang semakin menguat menyerang basis-basis warga NU menjadi poin pertama.
Kalangan Islam ’garis keras’ itu telah berhasil mendangkalkan akidah ahulussunnah mereka, di samping merampas musholla dan masjid yang selama ini dirawat dengan baik. Sementara organisasi tersebut digerakkan dengan dukungan dana kuat, manajemen yang rapi, dan jaringan internasional yang luas. Pada level inilah diperlukan peran kiai-kiai yang tidak hanya mampu memotret fenomena ini akan tetapi menyiapkan solusi konseptual, sistematis dan dilaksanakan secara terorgansir.
Poin kedua adalah lemahnya NU sebagai jam’iyyah. Ini adalah wacana klasik yang sampai sekarang masih menjadi titik kelemahan NU di mana-mana. Berbagai usaha yang dilakukan untuk memecahnya seringkali berhenti di tengah jalan. NU sebagai jam’iyyah seakan tak lagi mempunyai daya magnetis kuat untuk menarik warga NU berkecimpung, merumat dan membesarkan NU. Banyak jaringan struktural NU terbengkalai karena kurangnya kepedulian warga NU sendiri, baik struktural maupun kultural.
Bahkan, kata kata KH Mas’ud Masduki, Rais Suriah Pengurus Cabang NU Sleman, ada kasus dimana stempel NU sudah tidak diperhatikan lagi. “Jika begini yang ada bukan NU struktural akan tetapi malah NU Strok,” Imbuhnya. Hal ini dikarenakan NU tidak lagi bisa dirasakan manfaatnya. Atau jika tidak ormas-ormas yang didirikan warga NU di luar organisasi NU justru kadang berbenturan dengan kepentingan NU sebagai organisasi.
KH Malik Madani menekankan agar NU memperkuat kerja-kerja sosial di samping keagamaan. Inilah salah satu substansi ikhtiar rekontektualisasi peran NU. Karena NU adalah organisasi diniyyah (keagamaan) dan ijtima’yyah (kemasyarakatan) sekaligus. (nis)