Newcastle, NU.Online
Pada akhir minggu pertama keberadaan 12 Kiyai Pesantren NU di Inggris telah dimanfaatkan untuk mengisi pengajian di berbagai kota di negeri Ratu Elizabeth II itu. Kelompok pertama mengisi pengajian di Manchester, dibawah pimpinan Gus Hasib Wahab dari Tambak Beras, Jombang. Kelompok kedua mengunjungi pengajian di Birmingham dibawah pimpinan Gus Irfan dari Tebuireng. Sedang kelompok
ketiga menuju kawasan terjauh di England bagian utara, kota Newcastle Upon Tyne. Kelompok terakhir ini terdiri dari 3 ‘agwas’ (jama’ taksir dari GUS), Gus Fahrur Razi dari Pesantren An Nur, Malang, sebagai pimpinan rombongan, Gus Djamaluddin dari Pesantren Al Masturiyah Sukabumi dan Gus Kamali dari Langitan Tuban.
Para agwas tidak mengira bahwa Newcastle agak lebih dingin dibanding Makrfield, base camp para Kiyai itu di Inggirs, ketiga ‘agwas’ yang sampai di Newcastle pada jam 1 malam mengalami “sedikit penderitaan” akibat suhu udara. Bahkan sampai siang hari ketika menyampaikan pengajian, Gus Fahrur harus pakai “burdah” untuk mengurangi rasa dingin.
<>Pengajian yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengajian Islam Newcastle itu dihadiri sekitar 60 pria dan wanita yang umumnya adalah student, baik yang dikirim oleh pemerintah Indoensia maupun yang melalui jalur private atas beaya sendiri. Acara itu adalaha bagian dari pengajian rutine sebulan sekali yang diikuti oleh stundent dan keluarganya, yang umumnya menyajikan tema-tema umum
keagamaan. Berbeda dengan pengajain khusus wanita yang juga diselenggarakan secara rutine dua minggu sekali, yang khusus mengkaji Qur an, tajwid dengan kitab Syifaul Jinan dan fiqih khususnya Fiqhun Nisa’. Sesuai dengan tema umum dalam pengajian bulanan itu ketiga ‘agwas’ didaulat untuk menyajikan tema yang berbeda-beda.
Gus Fahrur dengan tema “Piagam Madinah dan Pembinaan Masyarakat Madani pada Era Rasulullah”, Gus Djamaluddin, menyampaikan tema “Tasawuf dan peningkatan spiritualitas kehidupan beragama pada era Reformasi Indonesia” sedangkan Gus Kamali dengan tema: “Akhlaq karimah dan penerapannya dalam hubungan Santri Kiyai di Pesantren”. Munculnya gagasan ketiga tema itu dilatari oleh gencarnya penayangan citra buruk Islam akibat berita teroris baik dalam media internasional maupun nasional Indonesia.
Bagai mana realitas sesungguhnya Rasulullah membawakan Islam secara damai sehingga berkembang menjadi tatanan kehidupan masyarakat ideal di Madinah, merupakan phenomena yang harus disebar luaskan oleh setiap muslim, terutama mereka yang tinggal di negara-negara barat yang akhir akhir ini dibombardir dengan berita kurang simpati terhadap Islam. Sementara itu, penomena paradox yang terjadi di Indonesia, dimana ibadah formal telah merebak dan meluas hampir di seluruh pelosok tanah air, sampai ke kantror-kantor pemerintahan dan di kampus-kampus di satu sisi, sedangkan kebobrokan moral dalam bentuk korupsi, manipulasi, dan penghamburan kekayaan alam dan negara yang juga mewarnai kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, menimbulakn tanda tanya besar akan makna spiritualitas keberagamaan masyarakat Indonesia.
Penomena itu memunculkan tema kedua yang berkaitan dengan tasawuf. Para peserta pengajian umumnya adalah mereka yang hidup dalam dunia pendidikan formal kampus non agama, oleh karena itu keunikan hubungan santri-kiyai dalam pesantren merupakan sesuatu yang jarang diketahui dan apalagi dirasakan oleh penghuni dunia kampus. Tema ketiga hubungan kiyai santri yang dilandasi akhlaq karimah di pesantren disajikan untuk mengenalkan dunia pesantren kepada penghuni dunia kampus.
Gus Fahrur dalam kesempatan itu mengisahkan secara rinci, bagai mana Rasulullah menyampaikan Islam kepada kaumnya. Secara khusus masyarakat Madinah yang menerima Islam melalui da’wah musim haji (haji pra Islam) dimana beberapa orang Madinah menerima Islam dan membaiat Nabi dalam peristiwa bai’atul aqabah pertama dan kedua. Islam masuak Madinah sama sekali bukan melalui jalur kekerasan. Pengiriman muballigh ke madinah merupakan tahap berikutnya, sampai
akhirnya masyarakat Madinah siap menerima dan menolong saudara-saudaranya yang teraniaya di Mekkah, dalam peristiwa legendaris “Hijrah”. Pembinaan ukhuwwah anatara kaum Anshor Madinah dan kaum Muhajjirin dari Makkah merupakan tahap awal pembinaan masyarakat madani di Madinah.
Penekanan yang diberikan oleh Gus Fahrur disini adalah pentingnya ukhuwwah dalam pembinaan masyarakat. Pembangunan Masjid sebagai base camp masyarakat pada tahap berikutnya, bukan saja untuk tempat ibadah namun juga tempat ideal untuk pendidikan masyarakat, dan tempat memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Bukti sejarah adanya piagam Madinah yang merupkan perjanjian yang dibuat oleh Rasulullah dengan semua golongan dari berbagai suku dan agama menunjukkan sikap dasar Islam dalam membina masyarakat madani, bahkan dalam membangun sebuah negara. Masyarakat dalam sebuah negara yang menghargai eksistensi semua pihak baik dari sisi suku, agama, maupun penggolongan yang lain, dan juga menjamin hak-hak semua pihak secara adil.
Tidak berbeda dengan masuknya Islam ke Madinah,