Pendekatan Psikologi Diperlukan Untuk Pahami Prilaku Nekad Heroik
Sabtu, 11 Juni 2005 | 09:31 WIB
Jakarta, NU Online
Pendekatan psikologi diperlukan untuk memahami kegiatan teror supaya pencegahan terorisme tidak terjebak pada munculnya praktek teror yang baru serta tidak membuang biaya.
Hal ini disampaikan Prof. Dr Achmad Mubarok saat dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang psikologi Islam pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulloh Jakarta, Sabtu.
<>Dalam pidato bertema "Pencegahan Terorisme dengan Pendekatan Islamic Indigeneous Psikologi" itu, Mubarok mengingatkan kekeliruan pendekatan dalam menangani kelompok ini bukan saja akan menimbulkan kegagalan dalam memerangi atau mencegah terorisme, tetapi juga bahkan mendorong lahitnya "teroris" gaya baru.
Menurut Mubarok, sebelum mencegah teror maka prilaku "teroris" itu sendiri harus dipahami melalui ilmu psikologi.
"Selama ini psikologi dipahami sebagai psikologi Barat yang mengasumsikan perilaku dan tingkah laku manusia sebagai sesuatu yang universal. Tetapi ini sesungguhnya hanya benar untuk mengalisis manusia Barat karena sesuai dengan kultur sekulernya sedangkan di belahan dunia lain prilaku manusia dipengaruhi oleh sistem nilai yang berbeda," ujar Mubarok.
Untuk itu, menurut Mubarok, dibutuhkan indigeneous psikologi yang dapat didefinisikan sebagai pandangan psikologi yang asli pribumi dan memang didisain khusus untuk masyarakat itu.
Dia mencontohkan senyum terdakwa pelaku bom Bali yang divonis mati oleh Pengadilan di Indonesia, Amrozi, yang membuat gemas sebagian publik dunia.
"Senyum Amrozi tidaklah cukup hanya dengan membandingkan dengan senyuman orang Barat. Dia harus dicari akarnya pada kultur Jawa Timur, kultur santri, kultur pekerja wiraswasta dan kultur pejuang bersenjata," kata Mubarok yang telah membuat 18 buku itu.
Menurut Mubarok, praktek peperangan antara teroris dan anti teror di dunia saat ini secara garis besar adalah perang antara dua pihak teroris.
Pertama disebut teroris kuat yakni negara besar yang dengan dalih melindungi kepentingan nasionalnya merasa berhak menghancurkan lawan dimana pun berada.
Sedangkan teroris kedua adalah teroris terpojok yakni mereka yang lemah dan kalah dalam perseteruan resmi namun tidak mau menyerah dan merasa berhak untuk membela diri dan melakukan gerilya sesuai kemampuan mereka.
Dia menambahkan teroris terpojok umumnya terkait pula dengan fanatisme terhadap hal tertentu yang akar penyebabnya berbeda-beda diantaranya ketimpangan ekonomi serta rasa keadilan.
"Oleh karena itu jika dalam satu negara, keadilan dapat ditegakkan dan dinikmati oleh semua aspiran, maka aspirasi garis keras akan mencair dengan sendirinya, sebaliknya jika ditekan dengan kekerasan maka pandangan itu makin keras dan makin tidak mengenal kompromi," ujar Achmad Mubarok.
Dia juga menyatakan, isu perang melawan terorisme dalam era global harus disikapi dengan hati-hati karena opini publik tentang terorisme internasional tidak terlepas dari upaya negara kuat untuk mempertahankan hegemoni politik dan ekonomi dunia.
"Terorisme sesungguhnya yang bersumber dari ketidakadilan justru tidak pernah dibicarakan akar masalahnya. Perang yang dikumandangkan oleh Amerika seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak akhirnya justru merupakan bentuk terorisme yang lebih dasyat, yaitu terorisme yang dijalankan oleh negara," kata Mubarok.
Bagi bangsa Indonesia, Mubarok menyatakan perkara terorisme yang dihadapi berbeda anatominya dengan problem terorisme yang dihadapi negara maju.
"Kita harus bisa membedakan antara teroris kriminal dengan teroris ideologi, antara teroris profesional dengan pelaku teror dari korban ketidakadilan yaitu aspiran perjuangan yang dipojokkan oleh sistem global yang tidak adil," katanya dihadapan sekitar 500 undangan.
Menurut Mubarok, biaya memahami prilaku orang-orang yang dianggap berbahaya itu lebih murah dibandingkan biaya menumpas mereka dengan keras apalagi jika berbasis teori psikologi yang tidak tepat.
"Psikologi yang tepat untuk memahami fenomena terorisme di Indonesia adalah Islamic indigeneous psikologi yang Insya Allah akan menjadi mazhab ke lima dalam sejarah ilmu psikologi." demikian Mubarok.(ant/mkf)