Salah satu film tentang pesantren yang sempat memicu kontroversi adalah Perempuan Berkalung Sorban (PBS). Film ini tidak sekedar memojokkan kalangan pesantren tradisional. Banyak kesalahan dalam film ini terkait persoalan ritual keagamaan dan tradisi pesantren yang ditampilkan dalam film tersebut.
Para pembuat film ini dinilai lemah dalam hal riset. Mereka malas belajar ilmu agama dan enggan menyelami tradisi pesantren.<>
Sehari setelah kegiatan pesantren kilat Ramadhan usai, tepatnya Sabtu-Ahad (12-13/9) lalu, para santri di Pondok Pesantren Darul Falah Jekulo Kudus menggelar diskusi dan bedah film-film bergenre pesantren ini.
M. Ridwan, salah seorang pengurus di pesantren itu menyayangkan beberapa bagian tertentu yang dinilainya kurang sesuai dengan realitas pesantren sesungguhnya. Ia memberikan contoh praktik shalat jamaah pada film PBS yang diperankan oleh beberapa orang santri. Dalam film itu, para makmum mengucapkan takbir begitu keras. Padahal, dalam kajian kitab kuning, cara shalat yang demikian tidak dibenarkan.
“Seharusnya yang boleh mengucapkan takbir secara keras kan hanya imam, bukan makmum. Ini menunjukkan kalau riset penggarapan film ini kurang mendalam,” katanya seperti dikutip kontributor NU Online Widi Muryono.
Senada dengan Ridwan, Gus Muhib yang juga pengurus pesantren itu mengatakan, banyak kejanggalan dalam film-film pesantren yang berpotensi memengaruhi pola pikir santri, termasuk cara pandang publik terhadap pesantren pada umumnya.
Menurutnya, film Tiga Doa Tiga Cinta banyak mengusung adegan yang merusak citra pesantren. Di antara adegan yang dimaksudnya adalah adegan semi seksual yang diperankan sesosok santri dalam film itu. “Adegan semacam ini menghawatirkan, bukan hanya merusak citra pesantren di mata publik, tapi juga berpeluang meracuni moralitas santri,” tegasnya.
Gus Muhib dalam diskusi itu mengatakan, kehadiran film-film semacam ini perlu mendapat pengawasan ketat oleh kalangan pesantren. Menurutnya, santri sudah waktunya membuka diri untuk menyikapi ketimpangan sosial, terlebih yang bersinggungan langsung dengan kehidupan santri. “Kita sebagai santri harus tanggap, terlebih kalau nama kita dibawa-bawa,” ujarnya.
Shobirin, santri yang turut menghadiri acara diskusi itu berharap, masyarakat mengenal pesantren lebih dulu ketimbang film itu. “Kita optimis saja, pesantren sudah ada ratusan tahun sebelum film itu ada. Masyarakat lebih tahu mana yang nyata dan mana yang rekayasa,” katanya.
Menurutnya, kehadiran film-film itu juga menjadi tantangan bagi kalangan pesantren untuk mengaktualisasikan diri pada panggung perhelatan sastra. “Tidak selamanya kita jadi tukang kritik. Sudah waktunya kita bangkit untuk berkarya,” ujarnya. (nam)