Damaskus, NU Online
Sebuah agenda penting kembali direalisasikan oleh warga Nahdlatul Ulama di Syria berupa seminar ushul fiqh yang dilaksanakan pada pada hari Sabtu 07 Mei 2005 bertempat di Aula KBRI Damaskus Syria. Acara dikemas dalam bentuk “Silaturrahim dan Dialog Interaktif dengan menghadirkan Dr. Hassan Awad, Dosen Ilmu Ushul Fiqh Universitas Damascus..
Tema berat yang bertajuk “Manhaj Istinbat al-Ahkam inda al-Ushuliyyin baina al-Asholah wa at-Tajdid (metodologi penggalian hukum menurut ushul fiqh; antara asholah dan tajdid) justru menambah semangat para mahasiswa Indonesia untuk bergabung dalam acara itu.
<>Hadir antara lain Duta Besar RI untuk Syria dan Cyprus, Dr. Sukarni Sikar, Kasubbidpensosbud KBRI Damaskus, H Mohammad Hanifa MA., Kepala Sekolah Indonesia Damascus, Esa Sukma Wijaya, Ketua PPI, Jamuri Chairoddin dan juga beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang berasal dari Syria, Iran, Senegal, Libya dan Afrika Selatan. Nuansa silaturrahim sangat kental terasa.
Dubes RI Dr. Sukarni Sikar yang merupakan doktor ilmu politik tersebut dalam sambutan pembukaannya menyatakan agama Islam datang bukan untuk membawa perpecahan sesama ummat dan bahkan bertujuan menawarkan kedamaian bagi alam semesta. Tetapi fanatisme golongan dan madzhab terbukti menyeret ummat Islam dalam kubangan konflik yang tak berkesudahan.
Suasana dialog interaktif yang dimoderatori oleh Ahmad Zaky Mubarok Lc. ini berlangsung hangat, terbuka dan menarik. Suhu udara musim panas sama sekali tidak mengurangi minat hadirin memperhatikan presentasi narasumber. Terlebih saat Dr. Hassan Awad, dalam uraiannya menjelaskan kronologi kodifikasi hukum Islam dan mengkritik habis sebagian pemikir yang keluar dari koridor epistemologi Ushul Fiqh yang baku sehingga pemikirannya bertentangan dengan mayoritas Ulama.
“Saya sepakat jika hukum memang bisa berbeda, tetapi untuk metodologinya, sampai sekarang terbukti tidak ada lagi yang mampu membuat yang baru,” tandasnya.
Sebelumnya, saat memberikan sambutan sebagai Ketua Tanfidziyah PCI NU Syria, Abdul Latif Malik menjelaskan secara singkat urgensi keberadaan NU di Syria dan sejarah berdirinya NU di Indonesia. Dikatakan, Nahdlatul Ulama didirikan oleh para ulama berdasarkan pemikiran yang matang dan bertujuan untuk membangun dan mengkampanyekan toleransi dan sinergi antara sesama organisasi atau paham keagamaan yang lain.
“Satu teladan nyata dari pendiri NU bagi ummat Islam seluruh dunia adalah keberhasilannya mempertahankan kebebasan bermadzhab di tanah suci Mekkah dan Madinah, dan kaum Muslim Indonesia khususnya Nahdliyyin patut berbangga atas prestasi ini,” demikian Latif Malik dalam sambutannya yang disampaikan dalam Bahasa Arab.
Acara yang diprakarsai oleh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan koordinator Nurun Maksuni dimaksudkan untuk memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan sekaligus sebagai penutupan rangkaian kegiatan PCI NU Syria tahun akademik ini secara seremonial.
Sebelumnya, LAKSPESDAM yang dikoordinatori oleh Ibnu Malik telah menyelenggarakan diskusi “Gender dalam Perspektif Fiqh; “Islam vis a vis Orientalisme”. Selain itu secara rutin diselenggarakan Halaqoh Filsafat Mingguan yang masih berlangsung sampai kini. Acara diakhiri dengan ramah tamah sambil menyantap sawarma, makanan khas timur tengah.
Kontributor Syiria : Ahmad Slamet dan Mohammad Urip.