PBNU Sampaikan Sejumlah Renungan Keprihatinan atas Berbagai Persoalan Kebangsaan
Sabtu, 18 Juni 2011 | 13:21 WIB
Jakarta, NU Online
Dalam usianya yang ke-85 tahun, NU yang telah berdiri jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, akan terus berjuang bagi negara ini. Pada momentum peringatan harlah ini, selain menyatakan rasa syukurnya atas usia yang tak banyak organisasi lain bisa bertahan, NU menyampaikan rasa prihatin terhadap berbagai persoalan yang melanda bangsa ini.
Sejumlah persoalan kebangsaan ini disampaikan dalam pidato yang dibacakan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pada peringatan Harlah di halaman gedung PBNU, Sabtu (18/6) bertepatan dengan 16 Rajab, 88 tahun NU dilahirkan.
<>
Keprihatinan pertama berkaitan dengan kemerosotan moral. Belakangan ini makin intensif terjadinya proses kemerosotan moralitas sehingga masyarakat dapat dikategorikan sudah dilanda sebuah bencana moral yang serius.
Bencana ini ditandai dengan maraknya pornografi, perilaku korup dan manipulatif serta pelanggaran berbagai nilai-nilai dan norma agama, adat-istiadat, nilai-nilai budaya serta etika kemanusiaan. Betapa makin banyak orang yang dengan bebasnya membuka aib dan rahasia pribadi serta menyebarluaskan fitnah secara tidak bertanggungjawab.
“NU mengajak semua elemen bangsa untuk memperkuat tiga hal dasar. Pertama, memperkuat kembali tatanan keluarga dengan mengacu pada ajaran-ajaran agama. Kedua, menumbuhkan kembali nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan. Ketiga, merevitalisasi sistem sosial yang lebih berorientasi kolektivisme sebagaimana yang secara filosofis diletakkan oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia,” kata kiai Said.
Keprihatinan kedua terkait dengan krisis kebangsaan. Di tengah persaingan antar negara yang semakin ketat akibat globalisasi, muncul imperialisme ekonomi sebagai bentuk ancaman paling nyata yang mengikis nilai-nilai kebangsaan.
“Nasionalisme bagi bangsa ini tetap penting, bahkan makin penting, karena seharusnya menjadi pijakan untuk merumuskan kepentingan nasional. Secara retorika kebangsaan ini tetap menggema dari waktu ke waktu, namun hanya sebatas pembicaraan, dan tidak dihayati maknanya serta tidak tampak pada perilakunya,” jelasnya.
Dalam kaitan itu NU mengajak semua elemen bangsa untuk memperkokoh kembali identitas dan komitmen kebangsaan dalam rangka mengatasi imperialisme ekonomi dan kebudayaan sebagai dampak negatif globalisasi.
Terkait dengan persoalan demokrasi, NU melihat demokrasi yang dibangun dalam sepuluh tahun terakhir sangat mengecewakan masyarakat. Kebebasan yang tanpa batas, tidak menyejahterakan rakyat, melahirkan politik uang, menghasilkan pemimpin yang korup. Semua itu merupakan hasil dari sistem demokrasi yang semata-mata menekankan prosedur dan tidak berorientasi pada pengembangan nilai-nilai luhur serta tidak mengedepankan kepentingan rakyat.
“NU mengajak elemen bangsa untuk mengevaluasi demokrasi yang sedang berlangsung dengan prinsip: Pertama, demokrasi haruslah mampu menjaga keutuhan bangsa. Kedua, mampu menciptakan keadilan, dan memberikan kesejahteraan pada rakyat. Ketiga, demokrasi mampu menjaga kebersamaan dalam kebhinekaan. Keempat, demokrasi memperhatikan prinsip permusyawaratan/perwakilan yang mencerminkan keragaman bangsa, dan tidak semata-mata berdasarkan mekanisme pemilihan. Kelima, harus mampu menjamin kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tuturnya.
Terkait dengan masalah mendasar di bidang pendidikan NU berpendapat penyelenggaraan pendidikan adalah ranah publik yang merupakan tanggungjawab negara, bukan ranah privat seperti barang dan atau jasa yang diperjualbelikan. Bila pendidikan sudah dipersamakan dengan barang dan jasa yang diperjualbelikan, maka yang berlaku adalah hukum pasar: siapa yang punya uang akan memperoleh pendidikan bermutu, sementara rakyat yang tak punya uang tak akan memperoleh pendidikan bermutu.
Fenomena seperti ini sekarang sudah sangat menggejala, baik di lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah (negeri) maupun lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (swasta). Oleh karena itu, PBNU mengajak semua pihak untuk terus berjuang agar penyelenggaraan pendidikan nasional dikembalikan ke rel semula sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita.
Dalam bidang ekonomi, NU melihat bahwa kebijakan ekonomi negara dalam dekade terakhir ini cenderung berorientasi pasar bebas atau yang biasa disebut fundamentalisme pasar. Di berbagai negara berkembang, kebijakan ekonomi semacam itu tidak pernah berhasil menyejahterakan masyarakat. Kebijakan ekonomi seperti ini adalah kebijakan yang bersifat ekstrem yang selalu mengundang reaksi yang ekstrem pula.
“Jika keadaan ini terus dipertahankan akan menyuburkan paham-paham ekstrem atau radikal, termasuk radikalisme agama. Dalam sistem ekonomi pasar yang tak terkendali seperti ini, hanya menguntungkan pelaku ekonomi besar atau konglomerat, dan meminggirkan pelaku ekonomi kecil,” jelasnya.
NU memandang kebijakan ekonomi negara dikembalikan pada amanat pasal 33 UUD 1945 tentang ekonomi berkeadilan. Dalam sistem tersebut peran negara amatlah penting untuk menciptakan keseimbangan antara pemberian kesempatan terhadap yang besar dan pemihakan terhadap yang kecil. Untuk memainkan peran itu negara harus serius dan tegas.
Masalah kedaulatan negara juga menjadi perhatian NU. Indonesia tidak boleh menukar kedaulatan negara dengan bantuan yang diberikan negara lain, perusahaan multinasional dan lembaga multilateral.
“Kebutuhan terhadap utang luar negeri, seharusnya tidak membuat kita tunduk dan kehilangan kemandirian di hadapan negara dan lembaga donor internasional,” jelasnya.
Sejarah mencatat negara kita berkali-kali tidak berdaya menghadapi intervensi politik asing, pemimpin negara yang mencoba menjalankan kedaulatan negara secara mandiri harus menghadapi berbagai gangguan pemberontakan sampai pada tingkat penggulingan.
“Sekali lagi NU mengajak seluruh elemen bangsa untuk menegakkan kembali kedaulatan negara kita,” ujarnya.
NU merasa prihatin karena merasuknya korupsi di kalangan penegak hukum dan politisi membuat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi menjadi mandul dan pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara akan semakin lemah. Makin memprihatinkan karena disinyalir bahwa masyarakat pun sudah sangat permisif, kurang peduli, terhadap persoalan korupsi.
“NU berkewajiban mengajak semua elemen bangsa untuk tergerak dan pro-aktif sesuai kedudukan, kompetensi dan kemampuan masing-masing untuk ikut dalam gerakan pemberantasan korupsi yang membahayakan kelangsungan negara ini,” kata kiai Said.
NU berpandangan bahwa saat ini terjadi krisis kepemimpinan di berbagai level kehidupan sosial pilitik kemasyarakatan sehingga kelompok-kelompok masyarakat sering bergerak tanpa arah, mengedepankan kekerasan dalam penyelesaian konflik dan lemahnya solidaritas sosial antar kelompok.
“Jalan untuk memperbaiki semua itu adalah dengan membangun kesadaran melakukan kaderisasi, membangun kultur kepemimpinan yang bertanggungjawab, amanah dan mengedepankan kepentingan bersama,” tandasnya.
Penulis: Mukafi Niam