Jakarta, NU.Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta DPR menunda RUU tentang Sumber Daya Air sampai waktu yang tidak terbatas dan membuka kesempatan uji publik bagi masyarakat untuk menyempurnakan sejumlah substansi RUU tersebut.
"Karena masih ada sejumlah substansi RUU yang bisa menjerat masyarakat dan bangsa ini di kemudian hari, dimana masih kuatnya resistensi masyarakat terhadap RUU Tentang Sumber Daya Air yang tengah dibahas DPR RI, resistensi ini timbul karena ada beberapa materi bahasan yang mengarah pada privatisasi sumber daya air yang pada giliriannya sangat merugikan rakyat kecil, "ungkap ketua PBNU, Drs. H. Abbas Mu'in, MA dan Wakil Sekjen PBNU, Taufik R Abdullah dalam konferensi pers di gedung PBNU, Jakarta, selasa (17/02).
<>Menurut Abbas, ada beberapa celah pasal RUU yang rentan terhadap usaha privatisasi itu antara lain, pasal 7, 8, dan pasal 40. "Tiga RUU tersebut menjadi celah privatisasi yang jelas menguntungkan pemilik modal, yang bisa menguasai jalur distribusi air yang dibutuhkan banyak orang," katanya. Selain itu, lanjut Abbas, ada pasal 90 dan 92 yakni masyarakat tidak bisa tuntut ganti rugi, kemudian pasal 6 ayat (3) hak ulayat/adat tak terlindungi, kecuali sudah di perdakan, tambahnya.
Kondisi RUU yang semacam ini jelas merugikan kepentingan rakyat, mengingat sumber daya air menyangkut hajat paling dasar bagi rakyat banyak, dan di pihak lain masalah penguasaan sumber daya air ini juga tak terlepas dari kepentingan asing dalam proses ekonomi global. "Karena itu DPR hendaknya terlebih dahulu lebih banyak mendengar pendapat atau pandangan dari kalangan masyarakat yang lebih luas, sebelum mengesahkan RUU tersebut," tambah aktivis di beberapa LSM ini.
Meskipun demikian lanjut Abbas, PBNU pada dasarnya setuju terhadap pengaturan sumber daya air. Tetapi, pengaturan yang dimaksud hendaknya mempertimbangkan dasar-dasar yang menjadi kepentingan rakyat yang paling bawah; rakyat kebanyakan. Karena di situlah sebenarnya jiwa yang menyemangati Pasal 33 UUD 1945.
Sementara itu Wakil Sekjen PBNU, Taufik R Abdulah menambahkan bahwa PBNU merasa ditelikung oleh DPR. Sebelumnya DPR menginformasikan pengesahan RUU SDA dijadwalkan pada Maret 2004, ternyata tanpa sosialisasi dan uji publik, RUU tersebut akan disahkan pada paripurna tanggal 19 Februari 2004. "Tindakan DPR ini jelas tidak akomodatif dan bisa menimbulkan resistensi yang kuat," ungkapnya.
Taufik juga berpendapat bahwa ketentuan pidana dalam RUU tersebut tidak mengatur secara menyeluruh, karena hukuman hanya diberikan bagi pelaksanaan kegiatan yang menimbulkan akibat kerusakan."Tidak ada sanksi yang diberikan bila terjadi proses perencanaan yang terbukti merugikan masyarkat," papar mantan ketua Lakpesdam Jatim ini. (cih)