Warta

Payung Kaum Muda Tutup Usia

Ahad, 7 November 2010 | 13:55 WIB

Cirebon, NU Online
Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama, KH Syarif Usman Yahya, berpulang ke Rahmatullah, Ahad (1/11), pukul 15.45 di rumah Sakit Sumber Waras, Cirebon, Jawa Barat. Dia wafat pada usia 68 tahun, karena sakit komplikasi yang sudah dideritanya beberapa bulan terakhir ini. Jenazah akan dimakamkan besok Senin, pukul 10.00 di kompleks pemakaman pesantren Kempek, Cirebon.

Abah Ayip, demikian almarhum biasa dipanggil, masyhur sebagai kiai yang ‘alim di bidang ilmu fiqih, progresif, selalu tampil sederhana, egaliter, humoris, dan dekat dengan anak muda. M Imam Aziz, Ketua PBNU, menjulukinya sebagai payung anak muda.
/>
“Abah Ayip sangat peduli dengan anak muda NU. Almarhum terbuka menerima anak muda apa adanya, oleh karena itu, beliau pandai menciptakan suasana dialog. Anak muda telah kehilangan payung yang senantiasa melindungi,” ungkap Imam yang mantan aktivis muda NU.

“Pastilah kaum muda kehilangan sesepuh yang gagasannya selalu muda itu. Kepeduliannya yang tulus pada Nahdlatul Ulama adalah uswatun hasanah untuk kita semua. Meski tidak masuk struktur NU, beliau tidak lelah memberikan gagasan-gagasan segar untuk NU. Sedang menderita sakit serius pun yang dipikirkan NU dan umatnya,” tambah Imam yang mengaku membesuk almarhum dua minggu yang lalu.

Senada dengan M Imam Aziz, mantan ketua umum PP Fatayat NU, Maria Ulfah Ansor, mengatakan bahwa Abah Ayip adalah sosok yang selalu memberi perhatian pada anak muda NU.

“Beliau juga menghargai kaum perempuan. Kiai moderat, memahami konsep multikulturalisme, arif, dan mengayomi anak muda,” ujar Maria yang ketika dihubungi baru mendarat di bandara Nagro Aceh Darussalam.

Abah Ayip sebagai sosok yang ‘alim di bidang ilmu agama, khusunya ilmu fiqih, digambarkan oleh Dr KH Malik Madani, Katib Aam PBNU.

“Syarif Usman dengan latar belakang kehidupan kiai dan pesantren tradisional, tapi selalu berpikiran progresif. Almarhum sangat menguasai Ilmu fiqih, dan canggih menggunakannya. Saya juga menyaksikan beliau kiai yang haus ilmu, selalu ingin menambah pengetahuan dan wawasan dari manapun datangnya. Sungguh dunia pesantren sangat kehilangan beliau,” ujar malik Madani yang mantan dekan Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta.

Semasa hidupnya, Abag Ayip tidak pernah absen untuk mengisi dan mengikuti perkembangan pesantren. Majlis bahtsul masail adalah salah satu forum yang selalu diikutinya dengan tekun dan sabar. Nahdlatul Ulama, baik lembaga ataupun badan otonominya, tidak pernah lepas dari perhatiannya. Rumahnya, di komplek pesantren Kempek, Cirebon, hampir tidak pernah sepi dari aktivitas kenuan.
 
“Rumah Abah Ayip adalah saksi bahwa beliau sangat cinta NU dan dunia pesantren. Pengajian, makesta IPNU, PMII, Ansor, Lakpesdam, PKB, hingga pertemuan-pertemuan kiai UN nasional ada di sini,” kata Marzuki Rais, anak muda NU yang setia mendampingi almarhum ke manapun pergi.

KH Syarif Usman Yahya yang ikut mendirikan Partai Kebangkitan bangsa adalah mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Almarhum meninggalkan seorang istri, Syarifah Alfiyah al-Hindun dan seorang anak laki-laki, Syarif Hasan Usman. Menjalani pendidikan agamanya di pesantren Kempek, Cirebon dan pesantren Lirboyo, Kediri.

Di tengah-tengah kerumunan orang takziyah, seorang santri alumni pesantren Kempek, Abdul Muiz Sahal, mengatakan bahwa almarhum adalah orang yang peduli pada semua orang, bukan hanya santri ataupun masyarakat sekitar, tapi juga orang-orang yang jauh dari lingkungannya di pesantren.

“Saya mengenalnya sejak 1991. Saya tahu yang sowan ke Abah bukan hanya kiai, santri, dokter, pejabat, tapi juga para preman, orang marjinal secara ekonomi dan budaya. Semua kalangan datang, dari yang hanya ingin bercerita, minta doa, hingga minta fatwa. Abah Ayip sangat peduli. Jalan hidupnya menjadi inspirasi bagi saya,” kata Muiz. Selamat jalan, Kiai..(hh)


Terkait