Warta

Pasca Ramadhan, Jangan Kendurkan Ibadah

Ahad, 11 September 2011 | 13:49 WIB

Brebes, NU Online
Pasca Ramadhan, syiar Islam yang saat Ramadhan begitu gemerlap kembali meredup bagai ditiup angin lalu. Hari-hari kembali sunyi senyap dari alunan ayat-ayat Allah maupun pesan-pesan Islami baik dimasjid, mushola maupun di media cetak, elektronik dan website.

Melihat kenyataan ini, Rais Syuriyah Pengurus Wilayah (PW) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah KH Masruri Abdul Mughni merasa perihatin. Untuk itu perlu diikhtiarkan agar syiar Islam tetap menggema meski bukan dibulan Ramadhan. “Harus kita Ikhtiarkan dengan upaya maksimal,” ujar Kiai Masruri saat berbincang dengan NU Online di rumahnya Kompleks pesantren Al Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes, Ahad (11/9).
<>
Menurut dia, Ikhtiar tersebut harus mendapat daya dukung dari berbagai elemen bangsa. Bisa dari individu, organisasi keagamaan, media cetak, elektronik, website, dan pemerintah serta pihak swasta. Element tersebut digabung untuk menarik kembali manusia ke fitrah kodratinya dengan menaruh agama sebagai bagian yang paling utama dalam kehidupan. “Tanpa kebersamaan dari semua pihak, kebangkitan seperti Ramadhan sulit kita raih,” ucapnya. 

Sebenarnya, lanjut Kiai, Ramadhan itu seperti kompetisi sepak bola yang melalui tahapan babak penyisihan yang diikuti banyak peserta. Babak semi final tinggal sebagian peserta dan babak final yang mungkin tinggal 10 besar sampai 3 peserta pemenang.

Pasca Ramadhan, kata Pengasuh Pesantren al Hikmah 2 Benda itu, nafsu kembali bergolak selepas setan kembali bebas berkeliaran. Dan yang paling dominan dalam gejolak itu adalah nafsu. “Kalau nafsu sudah keluar dari ruh insania maka akan jelas perilakunya,” tuturnya.

Ada nafsu bahimiyah yang berperilaku seperti binatang ternak, kerbau atau kambing. Bila nafsu bahimiyah melanda manusia maka ada sifat kambing yang dipikirkan Cuma makan, minum, sex, buang air. Kambing, meskipun sudah dibuatkan kandang yang bagus, disediakan rumput yang hijau, tetapi ketika disuruh masuk kandangnya tetap tidak mandiri dan harus ditarik-tarik.

Di dunia pendidikan, meskipun sudah disediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Sekolah yang bagus tetapi tetap saja tidak mau sekolah dengan berbagai alasan. “Akibatnya, sekolah seperti dipaksakan dan hasilnya tidak baik,” terang Kiai.  

Nafsu sabuiyah, biasanya mengidap pada binatang buas anjing dan harimau. Ini melanda manusia suka bertengkar atau berkelahi antar geng, bentrok antar suku, aliran dan tindak radikalisme lainnya.

Sedang nafsu Syaitoniyah, sifat dasar seperti iblis yang congkak, sombong, mengapusi, manipulasi data dan korupsi.

Dan nafsu Rububiyah adalah nafsu seperti Firaun. Manusia kerap dihinggapi ingin selalu menjadi penguasa. Mencengkeram kekuasaan untuk selama-lamanya. “kalau bisa seumur hidupnya,” papar Kiai.

Maka, mengendalikan nafsu-nafsu seperti itu akan sangat penting dalam keadaan zaman seperti ini. Artinya, nuansa Ramadhan harus terus kita budayakan dalam 11 bulan berikutnya. “Sehingga jangan sampai nafsu liar lebih dominan dibanding nurani yang fitri,” pungkasnya.

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Wasdiun


Terkait