Warta

NU Sekali Lagi Bukan Organisasi Politik

Rabu, 9 April 2008 | 01:01 WIB

Yogyakarta, NU Online
Sebagai organisasi ijtima’iyyah (kemasyarakatan) NU harus semakin memperbanyak jumlah rumah sakit dan menggalakkan program pemberdayaan ekonomi umat. NU, sekali lagi, bukan organisasi siyasiyah (politik).

“Hanya saja kita ini kurang bisa ‎belajar dari sejarah karena terlalu sering mudah ditarik kepentingan sesaat,” kata Wakil Katib Syuriyah PBNU KH Malik Madani dalam ”Forum Sillaturrahim Kiai Se-Sleman” di ‎Pesantren An Nasyath Mlangi, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (6/4) lalu<>.

Apalagi situasi nasional mulai diwarnai dengan melonjaknya harga ‎komoditas pangan, kelangkaan minyak, gas, yang kian mencekik masyarakat. ‎Situasi sosial yang tidak menentu harus menjadi perhatian para kiai dan ulama karena ‎memiliki akar-akar kelembagaan struktural di tingkatan global yang disebut ‎dengan neoliberalisme ekonomi dan politik.

“Kiai-kiai yang menggagas ‎acara pertemuan ini harus bergerak ke arah sana sekarang!” kata Kiai Malik Madani dalam di hadapan sekitar 90 kiai se-Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Forum itu menegaskan bahwa NU ‎bukan organisasi politik politik, berbeda dengan PKB, PKNU, ‎Golkar, PDI, Partai Demokrat dan lain-lain. Jika NU secara institusi berkutat ‎dengan politik maka lebih banyak madlaratnya daripada maslahahnya. Hal ‎ini terbukti sepanjang narasi sejarah NU.

NU membebaskan warganya untuk berpolitik, termasuk ‎kiai-kiai, karena itu bagian dari hak warga negara. Meski hal ini mudah secara ‎teori akan tetapi sulit secara praktik. Banyak kiai secara tidak sadar telah ‎memanfaatkan NU secara kasat mata untuk kepentingan individual mereka. ‎‎“Untuk apa cawapres dan cawagub, misalnya, mendekati kiai dan ‎membujuknya jika bukan karena massa yang dimilikinya?” Kiai Malik.

Dikatakannya, kiai sering lemah dan terdorong memobilisir massa atas ‎nama NU. Termasuk cawagub dari NU secara terang-terangan memasang ‎bendera NU di samping bendera partai mereka. Padahal NU tidak hanya ‎milik partai tertentu. Inilah salah satu cikal bakal disharmoni antar kiai ‎yang belum lurus dan dewasa dalam berpolitik. ‎

Forum silaturrahim kiai itu dimoderatori oleh KH Bustanul Arifin, pengasuh Pesantren Nurul ‎Islam, Turi, dan Kiai Aminun mejadi pembawa acaranya. ‎Meksi waktunya cukup singkat akan tetapi berhasil menghasilkan poin-poin ‎penting yang menjadi kesepahaman bersama dan direkomendasikan untuk ‎agenda ke depan.

KH Sami’an, selaku penggagas dan sahibul bait acara ini ‎cukup senang pesantrennya dihadiri kiai-kiai dan melihat mereka bersatu ‎memikirkan nasib umat.

“Saya cukup ‎senang menyaksikan kiai-kiai berkumpul di sini. ‎5 tahun yang lalu di kantor ‎NU banyak kiai bercerita. Jika kiai-kiai itu bisa ‎berkumpul setiap 2 bulan ‎maka sudah pasti akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Dan rakyat ‎juga ‎akan remen melihatnya. Khususnya NU akan menjadi terurus dan remboko. ‎Apalagi akidah puritan semakin menggejala sehingga kiai harus tambah ‎‎semangat”, tandasnya kepada NU Online.‎ ‎

Seluruh kiai yang hadir mengapresiasi diadakannya forum serupa. Di ‎akhir acara, disepakati pertemuan ini akan dirutinkan dan di bawah ‎koordinasi PCNU Sleman.

KH Sukidi berkomentar, “Saya merasa laiknya ‎memasuki kerajaan besar NU ketika memasuki pintu forum ini. Melihat ‎banyak sekali kiai berkumpul.” Para kiai akan merumuskan isi ‎pertemuan selanjutnya dan memintakan persetujuan dari kiai-kiai sepuh. ‎Menurut iinformasi, sudah banyak kiai yang mendaftarkan diri menjadi tuan ‎rumah pertemuan selanjutnya.

Namun Kiai Malik Madani tetap memberikan warning. “Kiai memang harus ‎waspada," katanya. Acara ini penting tapi tidak perlu dilanjutkan jika nantinya hanya ‎dibelokkan orang-orang yang berkepentingan," katanya.

"Sekarang ini rawan. Jadi ‎kiai-kiai dan penggagas pertemuan wajib menjaganya. La tha’ata li ‎raisin li ma’siatil ‎khittah (tidak ada ketaatan untuk urusan maksiat). Termasuk jika digunakan untuk dukung ‎mendukung. Karena yang ‎terjadi bukan kebaikan tapi perpecahan dan ‎kerusakan,” kata Kiai Malik.‎ (nis)


Terkait