Warta

NU Harus Isi “Ruang Kosong” Civil Society

Rabu, 1 Desember 2004 | 13:44 WIB

Boyolali, NU Online
Pengamat NU Universitas Deakin Australia, Greg Barton mengatakan NU harus mampu mengisi “ruang kosong” civil society yang mulai ditinggalkan banyak orang. Untuk itu NU harus menjadi kekuatan masyarakat yang benar-benar otonom, tidak terkooptasi kekuatan politik untuk melakukan upaya-upaya pembebasan masyarakat.

“Ini yang harus dilakukan NU kedepan, sebagai wakil masyarakat madani,  jika ingin posisinya terhormat dan bermartabat di tengah pergulatan masyarakat dan bangsa,” ungkap Greg Barton kepada NU Online di ruang redaksi, media centre, Selasa (1/11).

<>

Bagi NU, lanjut Greg, tidak ada jalan lain kecuali merancang kembali visi, misi, dan strategi supaya terhindar dari godaan politik. Pengalaman di masa lalu amat jelas, keberpihakan pada politik tertentu hanya akan menenggelamkan eksistensi NU. Sebaliknya, perhatian yang besar terhadap pemberdayaan masyarakat akan membawa pada keberhasilan yang gemilang, yaitu tumbuhnya pemikiran-pemikiran brilian yang dapat mendorong transformasi sosial dan penguatan civil society.

“NU sudah saatnya benar-benar berorientasi pada semua hal nonpolitik. Muktamar ini  harus menjadi wahana diskusi dan dialog yang efektif untuk merenungkan dan menimbang-nimbang neraca keberhasilan dan kegagalan. Jika Muktamar 1984 berhasil mendesain "kembali ke Khitah 1926", maka perlu di rancang juga agenda reasonable kedepan,” katanya.

Apa saja agendanya ? penulis buku "Authorized Biography of Abdurrahman Wahid" ini mengatakan, NU harus merevisi pandangan politiknya. Politik yang dikembangkan seharusnya kultural, bukan politik praktis. Itu tercermin dalam penguatan masyarakat sipil. “Kebesaran NU tidak lagi diukur sejauh mana NU mengamanatkan kader terbaiknya sebagai pemimpin nasional, tetapi sejauh mana NU bisa mandiri dan dapat mengelola masyarakatnya secara efektif dan dinamis,” paparnya.

Agenda berikutnya, lanjut Greg NU harus merevisi pandangan keagamaan. Di tengah gencarnya pandangan keagamaan yang kaku, keras, dan rigid, NU semestinya memosisikan diri sebagai organisasi keagamaan yang inklusif, pluralis, dan emansipatoris. “Agama tidak lagi dimaknai sekadar ideologi politik, tetapi kekuatan moral yang membebaskan. Pandangan keagamaan semacam ini penting sekali dalam rangka mendelegitimasi pemaknaan tunggal terhadap agama, selain untuk memperbaiki citra terhadap komunitas Muslim di belahan Asia Tenggara, khususnya tanah air,” ungkap Greg.

 “Tentu NU juga harus memperhatikan dan merevisi pandangan ekonominya dan terutama sekali soal pendidikan. NU sejatinya dapat memanfaatkan potensi ekonomi masyarakat yang begitu besar. Kegagalan NU dalam mengelola potensi ekonomi disebabkan minimnya visi ekonomi. Dalam sektor ekonomi, NU hampir mengalami kegagalan. Lembaga-lembaga perekonomian NU tidak berfungsi maksimal karena besarnya perhatian NU pada aspek politik,” katanya

Akibat kegagalan itu Greg mencontohkan, banyaknya kader NU yang menjadi intelektual dan pemikir, kenapa tidak mengarahkan diri pada konsentrasi untuk memajukan pendidikan kaum Nahdliyyin di seluruh pelosok tanah air. “Sayang sekali, potensi kelahiran para pemikir dan intelektual itu tidak menyebar secara lebih masif dan luas lagi. Saya kini, benar-benar mengharapkan figur pemikir-pemikir muda NU yang menonjol untuk mengambil peran lebih besar dalam kepemimpinan NU di masa depan,” harap Greg sebelum menutup pembicaraan. (cih)


Terkait