Jakarta, NU Online
Sebagaimana umumnya tradisi pesantren yang selalu menggelar pengajian kitab kuning, setiap ramadlon. Kalau Ramadlon tahun lalu pesantren Ciganjur Jakarta selatan membuka pengajian kitab Qathrun Nada, yang membahas tentang gramatika Arab, maka Ramadlon kali ini yang digelar adalah kitab Al Hikam, yang merupakan kitab tasawuf tingkat tinggi, sementara yang menjadi pemandu Kajian kitab ini adalah Kiai Pesantren Ciganjur sendiri yakni KH. Abdurrahman Wahid, yang akan memandu sebulan suntuk yang diselenggarakan pagi hari jam 8 hingga 10 WIB yang terbuka untuk umum.
Pengajian ini diselenggarakan dengan cara pesantren salaf, di mana para santri Ciganjur membaca kitab yang masih gundul tersebut dan sekalian memaknainya dengan bahasa Jawa halus, sebagian-demi sebagian kemudian Gus Dur menjelaskan secara kontekstual arti teks tersebut, kemudian santri lain membaca terusannya kemudian Gus Dur kembali menerangkan, hingga semua santri senior mendapatkan giliran membaca.
<>Rupanya Gus Dur menguasai betul kitab tersebut, terbukti setiap kekeliruan pembacaan yang dilakukan para santrinya Gus Dur langsung mengoreksi, demikian juga dalam memberikan keterangan dengan mudah mengulang teks-teks panjang yang telah dibacakan para santri, yang umumnya juga sudah sangat menguasai kitab tersebut, sehingga hadirin mengenal isi kitab dari para santri dan memahami isinya melalui penjelasan Gus Dur.
Dalam kesempatan itu penjelasannya tidak bersifat intertekstual sebagaimana biasanya, tetapi dijelaskan secara kontekstual, maka yang sebenarnya terjadi adalah pengembangan sikap budaya santri dan secara lebih luas sebenarnya Gus Dur sedang mengajarkan prinsip ke-NU-an pada santri, tidak hanya dalam bermasyarakat, tetapi juga dalam berpolitik dan berkebudayaan secara umum, persis seperti yang dilakukan ulama terdahulu terhadap santrinya. Maklum dulu tidak ada kurikulum keNuan di sekolah, maka para kiai menyampaikan melalui pengajian kitab semacam itu. Karena itu bisa dipahami kiai dan peasantren menjadi basis NU yang sangat kuat hingga saat ini.
Walaupun pembacaan dan pemaksaan teks dilakukan dalam bahasa jawa akademis, tetapi audiens masih bisa memahami karena keterangan yang diberikan oleh Gus Dur tentu saja berbahasa Indonesia, dengan demikian kitab klasik tetap mendapatkan relevansi bagi kehidupan saat ini tergantung bagaimana para pembacanaya secara kreatif membaca teks tersebut sesuasi dengan keadaan saaat ini. (Bregas)