Kairo, NU Online
Fakta menarik yang dikutip oleh Fahmy Farid dari Martin Van Bruinessen, bahwa, selain Haramain di sini berfungsi sebagai tempat pengkajian Islam itu sendiri, perjalanan haji mulai mengalami penggelembungan fungsi yang mulai menjalar pada aspek kebangsaan. Bermula dari tanah ini justru muncul semacam kesadaran nasionalisme tinggi di antara mereka, yang kedepannya hadir menjadi alat pemersatu Nusantara sekaligus perangsang anti kolonialisme. Bahkan di Mekah, jauh sebelum Sumpah Pemuda sendiri, Bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai alat pemersatu.
<>
Selain fakta sejarah tersebut, tokoh Nusantara yang berdomisili di Mekah kala itu mempunyai peranan penting atas perkembangan generasi pemuda Islam di tanah air. Salah satunya adalah, syaikh Nawawi Al-Bantani, syaikh Ahmad Katib Al-Minangkabaui dan syaikh Mahfuzh Termas. Di ketiga tokoh inilah, pembasisan Islam Nusantara menemukan momentumnya.
Diantara ketiga tokoh Nusantara terkemuka tersebut, Nawawi al-Bantani adalah orang termasyur di kalangan pesantren. Bagaimana tidak, karya-karyanya selalu dikaji oleh mereka. Selain itu, menurut Fahmy Farid, sifat kerendahan hati yang dimiliki oleh syaikh Nawawi mampu masuk pada ruang tasawuf yang begitu mendalam, maka tak heran apabila ia acapkali dikenal dengan sebutan Al-Ghazali At-Tsani.
Dalam hal ini, Nawawi al-Bantani turut berperan serta menggeser corak keberislaman Nusantara yang-–bisa jadi awal mula--cenderung berhaluan tasawuf falsafi menuju harmonisasi tasawuf dengan syariah.
“Pertimbangannya, kalau melakukan pelacakan kilas balik paradigmatik Islam Nusantara, pada mulanya sangat berorientasi kepada tasawuf. Tapi kemudian secara bertahap berangsur menjadi lebih berorientasi kepada syari`at. Maka bisa dipastikan, kemunculan Nawawi al-Bantani berdiri pada titik peralihan tradisi keberislaman Indonesia; dari yang bercorak sufistik falsafi, kemudian bergeser pada harmonisasi tasawuf dengan syari`ah. Sehingga potret Islam Nusantara pada akhirnya mengerucut pada tipologi Asy`ari-Mathuridi dalam hal teologi, Syafi`i dalam permasalahan fikih serta tashawuf ala Ghazali (dalam pemaknaan tashawuf ‘amali,” ungkap Fahmy Farid.
Fahmy Farid meyakini bahwa syaikh Nawawi telah mampu memberikan sumbangsih yang cukup tinggi atas keberislaman di Nusantara. Melalui pensyarahan kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama dunia, ia memasukan unsur-unsur lokalitas Nusantara.
“Yang paling penting kita cermati di sini bahwa syeikh Nawawi Al-Bantani dan ulama-ulama lainnya telah berperan aktif dalam proses epistemifikasi Islam Nusantara, sebagai sebuah identitas, corak keberislaman,” pungkasnya.
Di akhir pembacaannya atas Nawawi al-Bantani, Fahmy Farid menjelaskan bahwa kaitan doktrinal Islam Nusantara dengan Timur-Tengah mau tidak mau, disadari ataupun tidak, telah mengubah mindset kebudayaan lokal, semerta terpengaruh paradigma dan budaya Arab itu sendiri. Semisal, tidak sedikit muatan kitab-kitab kuning yang telah dikarang oleh ulama laki-laki perihal sikap terhadap perempuan masih bersifat patriarkis. Itu dapat dilihat, misalnya, pada kitab-kitab mengenai hubungan suami-istri.
Uraian terkait hal tersebut—dalam kitab kuning--masih dominan dari sudut pandang laki-laki saja; laki-laki sebagai subjek, sedangkan perempuan hanya sebagai objek. Dalam diskursus dominan, perempuan dibahas seolah-olah makhluk yang hanya berguna untuk melayani laki-laki dalam segala hal.
Paradigma semacam ini dapat dijumpai, semisal dalam kitab `Uqud Al-Lujjain, karangan syeikh Nawawi Al-Bantani sendiri. Kewajiban utama perempuan, menurut kitab ini, adalah melayani sang suami. Menolak tuntutan seksual sang suami adalah dosa besar bagi seorang perempuan. Dalam hal ini, Nawawi al-Bantani boleh jadi tidak sendirian. Hampir semua kitab sejenis memberikan paradigma yang sama.
Selepas sesi presentasi, sang moderator, Muslihun Maksum, memberikan sesi tambahan. Di Awali oleh Nova Burhanuddin, menurutnya, pemikiran tasawuf yang dihasilkan oleh Nawawi al-Bantani dalam karyanya tidak sedikit mengutip dari pemikiran Ibnu Arabi. Hal ini menunjukkan, bahwa Nawawi al-Bantani sangat toleran terhadap pemikiran yang di luar mazhabnya.
Nora Burhanuddin juga menambahkan, Nawawi al-Bantani juga pandai dalam bidang ilmu hadist. Karena letak geo-epistemologi yang ada di Haramain memberikan faktor tersendiri atas terbentuknya kematangan Nawawi al-Bantani untuk mengkaji hadits beserta ushulnya.
Selanjutnya, tak mau ketinggalan, Mei Rahmawati, sebagai pengkaji feminisme, sedikit mengkritik buku Nawawi al-Bantani dalam `Uqud Al-Lujjain. “Uqud al-Lujain terlalu menyudutkan peran wanita di mata sosial,” ujar Mei.
“Kongkow Ramadhan” Lakpesdam Mesir akan dilanjutkan hari Sabtu, 20 Agustus 2011, membedah pemikiran Syaikh Yasin al-Fadani. Pembedah adalah Ronny Giat Brahmantyo dan Nora Burhanuddi.
Redaktur: Mukafi Niam