Warta

MUI: Obat, Produk yang Sangat Minim Bersertifikat Halal

Kamis, 23 Oktober 2008 | 12:07 WIB

Jakarta, NU Online
Hingga kini, masih ada obat yang mengandung zat terlarang bagi umat Islam beredar di pasaran. Masyarakat diimbau untuk mewaspadainya, sebab data MUI menunjukkan bahwa obat termasuk barang yang paling sedikit memiliki sertifikasi halal.

Menurut data MUI, sekitar 90 persen produk di Tanah Air belum memiliki sertifikat halal. Dari 2,5 juta produk, baru sekitar 3.742 produk makanan, minuman, kosmetik, dan obat yang memiliki sertifikasi halal. Dari jumlah produk yang telah disertifikasi halal, produk obatlah yang paling minim memiliki sertifikasi. Tak lebih 10 persen dari jumlah itu.<>

"Produk obat memang paling sedikit yang memiliki sertifikasi halal," kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI H. Aminuddin Ya'qub, Kamis (23/10).

Ini berdasarkan hasil seminar, penelitian, dan temuan di lapangan, baik yang dilakukan Komisi Fatwa MUI maupun Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Pusat.

Adanya temuan MUI Sumut terhadap sejumlah suplemen yang diduga mengandung lemak babi dapat dijadikan momen tepat bagi pemerintah dan produsen obat untuk lebih memperhatikan sertifikasi halal terhadap produk obat ini.

Aminuddin menilai banyak produsen obat berpikir instan dan menganggap obat adalah urusan darurat sehingga diperbolehkan menggunakan bahan campuran yang tidak halal. "Padahal kan tidak seperti itu. Kalau ada alternatif lain, tetap harus utamakan bahan yang halal."

Hal ini mengacu pada koridor hukum Islam. Ia menyebut sebuah hadits yang artinya, "Allah tidak menjadikan sesuatu yang haram sebagai obat."

Menurutnya, pemerintah pusat, BPOM, produsen obat harus lebih peduli lagi terhadap halal atau haramnya suatu produk. Apalagi mayoritas konsumen di Tanah Air beragama Islam. Seharusnya BPOM juga memiliki payung hukum untuk melakukan tindakan tegas. Regulasi dan perhatian harus ditingkatkan lagi, termasuk terhadap kehalalan cangkang kapsul yang berbahan gelatin hewan.

Kasus yang terjadi di Medan, katanya, diduga karena masih minimnya kesadaran produsen untuk mensertifikasikan produknya. Produk obat yang tercatat halal hanya berasal dari produsen yang sukarela. Jumlahnya pun masih sedikit. Perhatian produsen obat masih kecil dibanding produsen makanan, minuman, dan kosemtika. (mad)


Terkait