Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Makruf Amin berpendapat, upaya judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama yang diajukan tujuh LSM bisa menimbulkan bahaya pada kehidupan beragama di Indonesia.
“Itu berbahaya karena ini akan menimbulkan situasi kebebasan tanpa batas. Kita tak lagi bisa menyetop penyimpangan dan penodaan agama,” katanya, Senin (23/11).<>
Dijelaskannya, masing-masing agama memang ada aspek yang mukhtalaf atau yang bisa diperdebatkan, tetapi ada ajaran yang telah disepakati bersama jika dilanggar, sudah dianggap sebagai penyimpangan terhadap agama tersebut.
“MUI meminta MK untuk menolak judicial review itu, dan kalau bisa malah memperkuatnya,” tandasnya.
Perkara ini telah dilakukan pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK pada tanggal 17 November lalu dengan Panel hakim M Arsyad Sanusi sebagai ketua, dan dua Hakim Anggota Panel Achmad Sodiki dan Harjono.
Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 ini terdiri dari tujuh Pemohon badan hukum privat, yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Tiga Pemohon perseorangan, yakni, KH Abdurahman Wahid, Prof DR Musdah Mulia, Prof M Dawam Rahardjo, KH Maman Imanul Haq. Para Pemohon memberikan kuasa kepada 50 kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama.
Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyatakan "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.".
Oleh Pemohon, pasal ini dinilai menunjukan adanya pembedaan dan/atau pengutamaan terhadap enam agama: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Hal ini dianggap sebagai bentuk kebijakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU a quo sebagai hukum proseduralnya, menjadi bertentangan pula dengan UUD 1945.
Mengkritisi permohonan pada Pasal 1 UU aquo, Hakim konstitusi Harjono berargumen, di satu sisi Pemohon meminta adanya kesetaraan, perlindungan, dan penghapusan diskriminasi terhadap agama atau aliran tertentu. Tapi di sisi lain, menurut Harjono, Pemohon dalam petitumnya meminta kepada Mahkamah agar menyatakan ketentuan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
"Hal ini tidak match, karena jika dinyatakan bertentangan, maka pasal a quo dinyatakan batal demi hukum," jelas Harjono.
Sementara itu, menurut Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, seandainya Pasal 1 dibatalkan, "Bagaimana jika ada seseorang menyampaikan di depan umum tentang sesuatu yang dianggap menyimpang ajaran agama, lalu terjadi chaos. "Bagaimana cara penyelesaiannya jika tidak ada pasal ini?" tanya Sodiki.
Sodiki juga mengkritisi dalil Pemohon yang menyatakan perlindungan terhadap agama dibedakan dengan perlindungan terhadap orang. Menurut Sodiki, keduanya tidak bisa dibedakan, sebab adanya agama karena adanya orang.
Pasca reformasi, aliran sesat di Indonesia tumbuh bak jamur di musim hujan karena adanya kran keterbukaan. Beberapa aliran menyimpang yang memiliki banyak pengikut diantaranya adalah Nabi Musaddeq, Ahmadiyah, Lia Eden. Sejumlah aliran lokal yang kurang terpublikasi media juga banyak.
Sebelumnya KH Hasyim Muzadi juga meminta agar telah meminta agar MK tidak mengabulkan judicial review ini.
“Kalau UU ini sampai dicabut, orang akan bebas menghujat agama dengan alasan demokrasi dan hak asasi manusia, padahal ini bukan masalah demokrasi atau HAM, tapi masalah hak sebuah agama untuk mempertahankan agamanya, kata Hasyim.
Dikatakannya, masing masing agama punya hak konstitusional di negara Indonesia untuk mempertahankan agamanya dalam konteks konstitusi negara bukan dalam konteks agama negara, hal ini tidak bisa dihapus atau dirusak atas nama demokratisasi. (mkf)