Reformasi yang berjalan di Indonesia sudah berlangsug selama 10 tahun. Namun demikian, perubahan yang dicita-citakan sampai saat ini belum terlaksana. Berbagai persoalan masing menghantui perjalanan bangsa ini.
Ketua PBNU H. Ahmad Bagdja berpendapat bahwa modal sosial yang dimiliki oleh bangsa ini menjadi penentu pembangunan dan keberhasilan reformasi setelah pendekatan secara politik dan ekonomi gagal.<>
Pernyataan ini diungkapkan ketika memberi sambutan acara seminar “Memperingati 10 Tahun Reformasi dalam Bingkai Seabad Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan oleh PP Lakpesdam NU, Selasa (29/4) di gd. PBNU Jakarta Pusat.
Sampai saat ini parpol belum bisa memberi solusi, malahan satu sama lain berkonflik. Ekonomi yang menentukan perubahan pengaturan dan pranata juga belum bisa memenuhi cita-cita reformasi.
“Peluangnya tinggal satu yang menjadi penentu keberhasilan reformasi, yaitu pranata, kekuatan, dan moralitas sosial yang dimiliki oleh bangsa Indonesia,” tuturnya.
Meskipun begitu, modal sosial ini juga menghadapi tantangan yang harus dihadapi seperti konflik yang terjadi di berbagai daerah. Terdapat berbagai penyebab konflik seperti konflik antara agama, intern agama, antar adat, adat dengan pemerintah, dan lainya. Berbagai penyebab yang menyulut bisa berakar dari masalah agama, politik, ekonomi, ketidakadilan penguasa dan masalah pribadi atau kelompok.
“Masyarakat sendiri tidak senang dan berusaha menghindari konflik,” tandasnya.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki solidaritas sosial yang tinggi dan mereka berusaha melakukan prakarsa-prakarsa untuk menghentikan konflik. Pemerintah sendiri bertindak cukup dominan dalam upaya resolusi konflik, tetapi dengan pendekatan yang sangat formal.
Peneliti CSIS J. Kristiadi sepakat bahwa modal sosial sangat penting dalam keberhasilan pembangunan di Indonesia. Warga negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan karena tak lagi identitas tunggal yang menonjolkan aspek-aspek lokalitas mereka. Semuanya sudah menyatu sebagai Indonesia.
Kondisi ini dinilainya berbeda dengan Malaysia, Belgia dan India yang menghadapi problematika hubungan etnis yang bisa menjadi ancaman dalam hubungan sosial mereka.
“Tantangan yang kita hadapi adalah kemiskinan yang bisa menjadi masalah sosial,” tandasnya.
Mengenai reformasi, J Kristiasi lebih suka menggunakan kata-kata “baru”, bukan “sudah” karena proses ini akan berlangsung sangat lama sebelum benar-benar berhasil seperti yang terjadi di Inggris, Amerika dan negara Barat lainnya. (mkf)