Warta

Menteri PU: Perpres Tanah untuk Minimalisir Spekulan

Kamis, 21 Juli 2005 | 10:48 WIB

Jakarta, NU Online
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menjelaskan bahwa peraturan presiden No. 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum tujuan utamanya untuk menghilangkan spekulasi yang saat ini banyak menghambat pembangunan.

“Banyak sekali pembangunan untuk kepentingan umum seperti jalan tol, waduk dan lainnya terhambat karena ada satu atau dua orang yang tanahnya menolak untuk dibebaskan. Masyarakat dirugikan, pemerintah dirugikan, investor juga dirugikan,” tandasnya di Gd. PBNU Kamis (21/7).

<>

Dikatakannya bahwa bagian terpenting yang menghalangi spekulasi tanah ada pada pasal 4 ayat 3 dengan bunyi “Apabila tanah sudah ditetapkan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur, maka bagi siapa yang ingin melakukan pembelian tanah di atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya,”

Masalah pencabutan hak atas tanah sebenarnya sudah terdapat dalam aturan yang lama dan itupun harus melalui berbagai mekanisme yang rumit, presiden sendiri yang memutuskan, bukan bupati atau gubernur.

Dijelaskannya bahwa tanah yang akan dicabut tersebut untuk kepentingan umum yang tidak dapat dipindahkan sedangkan jika masih memungkinkan, bisa dicari lokasi lainnya. Walaupun aturan pencabutan hak atas tanah tersebut sudah ada sejak diberlakukannya UU No. 5/1960 dalam sampai saat ini hanya sekali terdapat pencabutan hak atas tanah di Jl Gajah Mada Jakarta pada tahun 1971.

Untuk menentukan harga tanah bagi fasilitas umum, nantinya akan dibentuk tim independen yang terdiri dari para professional. Harga didasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tapi bisa juga lebih tinggi seperti kondisi yang umumya terjadi di Jakarta. Pemilik tanah tak juga harus menjualnya, tetapi bisa juga diganti tanah lainnya, pemukiman kembali ataupun penyertaan modal.

Menanggapi penjelasan tersebut, kebanyakan kyai bisa memahaminya. Namun yang mereka takutkan adalah operasionalnya di bawah yang tak sesuai dengan aturan yang ada. “Dari pengalaman yang lalu, masyarakat sering ditipu. Semua pengadaan tanah juga tak lepas dari penguasa setempat seperti bupati dan camat,” tandas KH Tolhah Hasan yang menceritakan pengalaman pahit di daerah Cibubur dan sekitarnya. Tanah dibeli dengan harga sangat murah dan ketika sudah jadi kawasan real estate dijual sangat mahal.

Sementara itu KH Masyhuri Naim meminta aga batasan kepentingan umum dalam aturan tersebut dipertegas untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan aturan dan penduduk yang didholimi pengembang karena tak mau menjual tanahnya

Sedangkan KH Ma’ruf Amin menyoroti penyesuaian kembali penggunaan tanah dari fasilitas umum menjadi fasilitas komersial, pembebasan tanah yang melebihi kebutuhan yang ada sampai dengan adanya calo dibawah tangan dan meminta masyarakat memjual dengan harga tinggi.

Prof. Nasarudin Umar yang pernah tinggal di Amerika menceritakan walaupun liberal tetapi aturan pertanahannya cukup rumit. Ketika ingin menambah kamar mandi saja, ia harus bolak balik ke kantor pemerintah untuk mengurusi hal tersebut. Ini berkaitan dengan NJOP dari bangunan tersebut.

Dikatakan Nasarudin hal yang sama juga terjadi di Jepang. Jika 80 persen penduduk sudah setuju satu kawasan digunakan untuk fasilitas umum, maka yang sisanya harus mengikuti persetujuan yang dibuat oleh mayoritas.(mkf)


Terkait