Jakarta, NU Online
Penyimpangan dan salah sasaran dan masih kuatnya mental KKN membuat program penanggulangan kemiskinan tidak pernah betul-betul mampu mengentaskan kemiskinan.Oleh karena itu diperlukan strategi baru yang lebih mengedepankan partisipasi masyarakat. Demikian dikemukakan Penasehat Senior Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Bintoro Soedjito, saat membuka Lokakarya Tukar Pengalaman Daerah dalam Pengarusutamaan Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Hotel Sanur Plaza, Sanur, Bali, Selasa (3/8).
Namun demikian, seperti dikutip Suara Pembaruan, banyak tantangan yang harus dipecahkan dalam upaya penanggulangan kemiskinan pasca krisis berkepanjangan saat ini, kata Bambang. Tantangan itu antara lain pertama, mengurangi kemiskinan pasca krisis dan dampak rendahnya pertumbuhan ekonomi untuk menyerap tenaga kerja.
<>Seperti dikatakan Sekretaris Komite Penanggulangan Kemiskinan Pusat, Gunawan Sumodiningrat, jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini sekitar 37 juta orang. Penetapan angka itu didasarkan kriteria Badan Pusat Stastitik (BPS) dimana orang miskin adalah mereka yang berpenghasilan Rp 130 ribu per orang per tahun. Angka tersebut tentu sangat besar terlebih lagi jika garis batas penghasilan untuk kriteria di atas dinaikkan.
Menurut Gunawan, pemerintah menargetkan menekan jumlah penduduk miskin dari 37 juta menjadi 27 juta orang hingga akhir tahun 2004. Hal itu menuntut kerja sama dari semua pihak dengan perannya masing-masing tanpa tergantung pada pemerintah.
Tantangan kedua menurut Bambang adalah melaksanakan tata pemerintahan yang baik di era otonomi daerah untuk mengurangi kemiskinan. Hal itu dicirikan oleh adanya transparansi dengan memberi masyarakat akses luas tehadap informasi publik. Kemudian partisipasi masyarakat termasuk dalam penyusunan program dan pengambilan keputusan, dan ciri berikutnya adalah akuntabilitas yang menjadikan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah daerah.
Tantangan ketiga menurut Bambang adalah memenuhi komitmen internasional misalnya millenium development goals. Tuntutan tersebut menyaratkan per-baikan dalam hal partisipasi gender, kualitas pendidikan masyarakat, serta kualitas kesehatan dan lingkungan.Untuk menjawab tantangan tersebut, belajar dari kesalahan masa lalu, diperlukan strategi baru dalam penanggulangan kemiskinan. Upaya tersebut tidak cukup dilakukan melalui proyek yang ditujukan pada si miskin, karena disinilah seringkali terjadi penyimpangan. Namun yang lebih penting lagi menurut Gunawan adalah capacity building masyarakat miskin itu sendiri.
Dari sisi pemerintah, juga harus ada perubahan paradigma dengan lebih mengedepankan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena secara struktural diperlukan perubahan-perubahan radikal seperti masalah kebijakan, peraturan, dan akses masyarakat pada proses pengambilan kemiskinan.
Selain itu menurut Gunawan, penanggulangan kemiskinan bisa dilakukan dengan memotong generasi orang miskin. Artinya upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan kepada kelompok miskin usia produktif dengan program-program produktif bukan konsumtif. Sementara itu Bambang menyodorkan beberapa inisiatif dalam strategi penanggulangan kemiskinan dengan cara pertama, mendorong pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan melalui perumusan strategi pengurangan kemiskinan daerah. Dengan demikian, daerah sebagai pemerintah terdekat dengan peran masyarakat lebih berperan aktif dalam upaya ini.
Selanjutnya mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam mekanisme perencanaan jangka menengah dan pengganggaran tahunan. Terakhir dengan meningkatkan pelayanan publik misalnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin.
Penguatan Kelembagaan
Sejalan dengan itu perlu dilakukan desentralisasi hingga ke tingkat basis terhadap struktur Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK), papar Gunawan. Oleh karena itu harus dilakukan penguatan kelembagaan daerah dengan arus partispasi publik yang sangat kuat. ''Oleh karena itu program ini harus menjadi gerakan bersama", imbuhnya.
Sementara itu ketua koalisi LSM antikemiskinan, Mochtar Abbas, pesimis akan keberhasilan KPK dan strategi baru yang dicanangkan pemerintah tersebut. Persoalannya menurut Mochtar, proses pembuatan KPK dan kebijakan sejak awal sudah cacat hukum.
Berdasarkan undang-undang seharusnya pemerintah hanya sebagai fasilitator. Selebihnya adalah peran masyarakat termasuk LSM, Perguruan Tinggi dan pihak swasta. Namun dalam praktiknya, baik dalam struktur maupun pengambilan keputusan, pemerintah masih sangat dominan.
Oleh karena itu program tersebut masih sangat rawan penyimpangan karena membuka kesempatan terjadinya KKN yang saat ini dilakukan semakin terang-terangan. Oleh karena sebelum dilakukan perubahan-perubahan radikal,