Warta

Masyarakat Aceh Mulai Apatis pada Agamanya

Selasa, 15 Februari 2005 | 01:13 WIB

Jakarta, NU Online
Dakwah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Pasca Gempa bumi dan gelombang Tsunami tampaknya bukan hal yang ringan. Selain sarana dan prasarana yang tidak memadai lagi, tapi yang tak kalah menariknya adalah tantangan dari masyarakat NAD yang cenderung apatis terhadap ajaran agamanya. Malah di antara mereka ada yang tidak mau shalat lagi, hanya lantaran hidupnya sudah tidak berarti semenjak bencana itu melanda.

Dalam diskusi "Strategi Dakwah di Nangroe Aceh Darussalam Pasca Tsunami yang digelar di Aula Masjid Sutan Takdir Alisjahbana Universitas Nasional (Unas), Jakarta, para pembicara yang terdiri dari Ketua Pusat Pengkajian Islam (PPI) Unas,Muchlis Dasuki, M Ed, Ketua Departemen Dakwah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Drs.Andi Ikhsan dan Ketua PB NU Prof. Dr.Masykuri Abdillah melihat hambatan psikologis yang melanda para korban di sana, sangat berperan penting dalam sukses atau tidaknya dakwah yang disampaikan oleh para dai di sana.

<>

Muchlis Dasuki, misalnya, secara khusus menyoroti perlunya para dai menelaah mad'u (orang yang diajak/ didakwahi) di Aceh seobyektif mungkin, yaitu dengan mengadakan penelitian kepada obyek mad'u dan memahami secara benar tentang rencana pemerintah di pusat dan daerah tentang rencana rehabilitasi, rekonstruksi, dan rekonsiliasi. Sedangkan Masykuri Abdillah menyoroti perlunya dakwah yang dilakukan di sana, jangan hanya memacu sekedar verbal, tapi harus mampu memacu etos kerja di kalangan masyarakat Aceh. Hanya saja yang perlu diingat, bahwa dakwah yang dikembangkan di sana, jangan sampai menghilangkan identitas dan budaya masyarakat Aceh.
Dalam bahasa yang lain, dakwah di NAD harus bisa mempertahankan identitas NAD sebagai 'serambi Makkah' dan bukan 'serambi Vatikan' mengingat besarnya arus manusia yang datang ke sana, dengan latarbelakang budaya dan sebagainya.

Sedangkan Andi Ikhsan, yang sempat melihat secara langsung kondisi masyarakat NAD pasca Tsunami, menemukan realitas yang tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa traumatis masyarakat NAD terhadap air yang melanda tanah kelahirannya itu membuat mereka takut untuk wudlu. Termasuk di dalamnya untuk menjalankan shalat lima waktu, yang selama ini sudah mendarah daging. Alasan yang disampaikan oleh masyarakat Aceh pun sangat mengagetkan, mereka tidak mau shalat karena sudah merasa tidak ada artinya kehidupan hanya lantaran anak dan istrinya sudah tidak ada lagi di dunia, akibat terjangan Tsunami. (ht/cih)


Terkait