Dalam perhelatan pemilihan presiden 2009 ini, para calon presiden lebih memfokuskan masalah perekonomian dibandingkan dengan sejumlah permasalahan lainnya yang dialami negeri ini, termasuk masalah keagamaan.
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi mengemukakan, terdapat sejumlah masalah keagamaan yang layak mendapat perhatian dari para calon pemimpin bangsa ini. Yang paling mencolok adalah Islam transnasional dan liberalisasi agama.<>
“Ekstrimisasi dan internasionalisasi politik Islam tidak perlu masuk Indonesia, Islam yang universal dalam nilai. Ini maksud saya, bangunan agama seperti ini harus selamat, dan setiap capres harus berani menjamin ini,” katanya kepada NU Online baru-baru ini.
Pengamalan agama di Indonesia, menurut Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang ini, harus pada substansinya yang universal dan aplikasinya harus mampu melihat kondisi, areal, dan budaya serta sistem negara.
“Dan itu dimungkinkan dalam Al Qur’an karena Al Qur’an juga mengakui hidup berbangsa, tentu juga tidak boleh melanggar akidah agama, tetapi tata laksana agama juga harus disesuaikan dengan kondisi negara,” paparnya.
Beberapa persoalan yang menjadi ancaman adalah hilangnya kerukunan lintas agama. “Tidak boleh ada ekstrimitas yang a nasional atau liberalitas religius yang menafikan norma agama itu sendiri. Ekstrimitas misalnya, orang yang melakukan fundamentalisasi tidak seimbang dengan toleransi, liberalisasi adalah toleransi yang tidak ada fundamennya. Garisnya adalah moderasi, ini yang dianut oleh NU dan Muhammadiyah. Agama yang ini yang selamat,” terangnya.
Persoalan agama yang lain yang harus diperhatikan adalah terjaminnya tidak ada kooptasi pada masalah keagamaan yang tidak islami. Hal ini terjadi pada masalah aliran sesat Ahmadiyah.
“Mereka tidak oleh mengatakan ini bagian dari HAM, seandainya mereka mengatakan bukan bagian dari Islam, tidak masalah, tetapi kalau mengatakan Islam tetapi terus nabinya dua, itu masalah. Sama dengan di Kristen juga, kalau ngaku Kristen tapi Yesus bukan tuhan, ini masalah,” ujarnya.
Masalah-masalah tersebut tidak selesai karena tidak adanya political will dari pemerintah. Dalam kasus Ahmadiyah, sudah ada keputusan dan tinggal melakukan rekomendasi kembali.
“Ini menjadi mleat mleot, karena menganggap ada unsure HAM, padahal ini bukan daerah HAM, misalnya ekstrimitas di bidang agama, mengapa ditolerir, Lalu, liberalitas mengapa dibiarkan, orang mengkritik rasulullah, tauhid, ini sebenarnya tak boleh terjadi,” tegasnya.
Toleransi, menurutnya harus seimbang dengan fundamentalisasi, fundamentalisasi yang berdiri sendiri menyebabkan konflik, toleransi yang berdiri sendiri akan meruntuhkan keimanan.
“Jadi, agama yang berkebangsaan dan sistem kebangsaan yang disinari oleh nilai agama. Ini harus selamat,” paparnya. (mkf)