Mahasiswa NU di Libya Sedang Sesuaikan Diri dengan Lingkungan
Selasa, 9 November 2004 | 06:03 WIB
Tripoli, NU Online
Khafilah mahasiswa NU yang memperoleh beasiswa ke Libya saat ini sedang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Mereka berusaha mengakrabkan diri dengan suasana gurun di Timur Tengah, termasuk juga memahami pola kehidupan masyarakat di sana.
Zainil Ghulam, satu santri PP. Raudlatul Ulum Besuk Kejayan Pasuruan yang beruntung memperoleh beasiswa dalam laporannya kepada NU Online nyatakan bahwa para rombongan mahasiswa dari NU keadaannya baik-baik saja.
<>“Saat ini musim dingin mulai datang, dan menurut teman-teman yang ada disini, akan berlangsung selama 5 bulan. Saya tidak tahu berapa derajat celsius sekarang ini, rasanya tulang sudah mau kerapos. Padahal menurut teman-teman, ini baru sepertiganya,” ungkapnya.
Beberapa mahasiswa juga ada yang mengalami deman dan gatal-gatal karena alergi udara. Dengan nada guyon ia mengungkapkan “Ini seperti santri baru yang mengalami penyakit gatal-gatal.”
Perkuliahan akan dimulai pada bulan November pasca Idul Fitri. Ia akan mengambil jurusan ulumul qur’an. Sistem perkualiahannya sangat ketat. Terdapat 10 mata kuliah yang harus ditempuh selama setahun dan setiap mata kuliah, wajib membuat makalah minimal 10 lembar yang kemudian dibagi kepada para mahasiswa dan dipresentasikan. Karena itulah, fokus jangka pendek adalah memperbaiki kemampuan bahasa Arab.
Islamic Call College (Kulliyah Da’wah Islamiyah) dimana para mahasiswa belajar memberi fasilitas yang memadai kepada para mahasiswanya. Asrama yang ada cukup baik dan representatif. “Terdapat alat pemanas, selimut tebal dan juga seprei panas. Namun demikian, bagi orang Indonesia yang baru datang udara dingin belum bisa dilawan,” tandasnya.
Peraturan di asrama cukup ketat. Mereka yang kerja sambilan akan dikenai sanksi dipulangkan ke negaranya. Aturan ini tentu untuk mengupayakan agar para mahasiswa berkonsentrasi belajar. Saat ini terdapat 38 mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Mereka sedang menempuh strata S1 dan S2.
Biaya hidup di Libya juga cenderung mahal. Mata uang yang dipakai adalah dinar. Saat ini satu dinar senilai dengan Rp.6000. diceritakannya biaya fotokopi 2 lembar mungkin sekitar 1500 rupiah, padahal disini mungkin cuma sekitar 200 perak atau 100 rupiah per lembar.
HP yang sudah merakyat di Indonesia juga tergolong mahal. Kartu perdana yang di Indonesia bisa diperoleh dengan harga 20.000 rupiah disana harganya 300 dinar atau sekitar US $ 150. kalau dirupiahkan mencapai 1.350.000, itupun tidak bisa dipakai untuk SMS ke kawasan Asia. LIBYANA merupakan satu-satunya operator telepon selular.
Akan tetapi para kader NU tersebut tak kehilangan akal. Untuk bisa komunikasi ke Indonesia, mereka mengirim SMS dengan memakai yahoo massanger.
Internet masih langka, bahkan disekitar kampus yang disini berderat-deret warnet menawarkan jasanya, disana belum ada. Rental internet harganya mencapai 1 dinar per jam, itupun harus naik taksi yang ongkosnya sekali jalan 3 dinar dengan jarak sekitar 10 km ke kota sehingga total dibutuhkan biaya transportasi 6 dinar. Barang yang harganya murah adalah mobil.
Tranfer uang juga merupakan masalah. Warga negara Indonesia tidak bisa dengan mudah langsung mentranfer dan mengambil uang di Libya. Bahkan Dubes RI di Libya setiap tiga bulan sekali mengambil uang ke Bank di Tunisia untuk biaya operasional.
Kontributor: Zainil Ghulam