Warta

Madzhab Adalah Solusi Perpecahan

Kamis, 17 Februari 2011 | 08:30 WIB

Semarang, NU Online
Dalam sejarahnya, madzhab adalah solusi perpecahan yang terjadi pada umat Islam di masa lalu. Metode, cara atau manhaj dalam agama itu, muncul karena terjadi kekacauan dan instabilitas politik di masa perkembangan Islam.

”Dengan persyaratan ketat yang telah disepakati, jadilah sebuah pedoman yang disesuaikan dengan lingungan alam dan sosial tiap umat Islam. Itulah yang disebut madzhab. Ada Madzhab Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali.” />
“Madzhab itu merupakan solusi. Dengan pedoman yang baku dalam beribadah dan bermualamah, umat Islam bisa melaksanakan agamanya secara damai dan nyaman. Tak lagi ada perang saudara karena klaim kebenaran sepihak.”

Demikian disampaikan KH Muhammad Abbas dari Buntet Cirebon dalam Pengajian Akbar Maulid Nabi Muhammad SAW dan Harlah Nahdlatul Ulama Ke-85 yang diadakan MWC NU Kecamatan Banyumanik di Masjid Mujahidin Srondol Wetan Banyumanik, Semarang, belum lama ini.

”Pasca terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh kelompok sempalan yang mengkafirkannya, timbullah ontran-ontran. Silih berganti terjadi pemberontakan dan perang saudara. Muncul aliran-aliran dalam Islam. Ada golongan Mu'tazilah yang menafsirkan Al-Qur'an  secara mutlak dengan akal. Ada kelompok Khowarij yang berpaham fatalisme. Muncul pula golongan Qodariyah, lalu Syi'ah, dan seterusnya,” jelas putra dari almarhum KH Fuad Hasyim

”Aliran yang satu dengan yang lainnya suka saling mengkafirkan dan terus terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, pembunuhan, sampai pemberontakan. Politik jadi tak stabil. Para khalifah jadi sebatas sultan dan khilafah jadi semu,  karena tak ada persatuan dan mufakat dalam Islam,” lanjut Kang Babas, demikian KH Muhammad Abbas biasa disapa.

Acar diikuti seribuan umat Islam Banyumanik dan sekitarnya. Turut hadir Rais Syuriah PCNU Kota Semarang KH Ahmad Hadlor Ihsan dan Ketua PCNU Kota Semarang H Anasom serta jajarannya, sejumlah kyai, serta aktivis organasasi underbow NU. 

Para ulama, kata Kang Babas, mencoba-coba memberi pedoman standar metode menafsirkan Al-Qur'an, hadits, fiqih, akhlak, dan lain-lain. ”Semuanya dimaksudkan agar tak ada lagi yang mudah mengklaim penafsirannya sendiri lalu menegasikan orang lain,” tegasnya.

Dia mengungkapkan, hasil dari musyawarah ulama, disepakati perlunya ijma’ dan qiyas, agar suatu masalah bisa diberi solusi secara tepat. Lalu dilakukan pemerincian syariat agar mudah dipakai sebagai pedoman di semua wilayah Islam, yang saat itu membentang dari Eropa Barat hingga Asia Timur. (moi)


Terkait