Jakarta, NU.Online
Ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menyatakan turunnya putusan kasasi Mahkamah Agung yang membebaskan Akbar Tandjung menunjukkan adanya kesenjangan antara nurani hakim dengan nurani masyarakat.
"Kalau nurani masyarakat kan ukurannya keadilan, sense of justice. Ia tidak tahu pasal dan sebagainya. Sementara hakim meliuk-liuk. Saya dengarkan seperti membaca pledoi, bukan membaca keputusan. Dan bergerak pada sekitar administrasi dan peristilahan yang mungkin susah untuk diikuti masyarakat umum," kata Hasyim.
<>Namun, ketika ditanya apakah berarti majelis hakim kasasi yang memeriksa kasus Akbar sudah gagal, Hasyim menolak memakai istilah itu. "Saya tidak menggunakan istilah gagal. Tapi ada jarak di sini. Karena hakim kan tidak ingin memenuhi kemauan masyarakat."
Hasyim, yang ditemui wartawan usai bertemu Menlu Hassan Wirajuda di Deplu, Jl. Pejambon, Jumat (13/2/2004), berharap bahwa rasa keadilan masyarakat tidak terlalu jauh dengan rasa keadilan hakim.
Namun masalahnya seseorang dikatakan korup apabila ada bukti korupsinya. "Kita sebagai warga masyarakat kan tidak bisa mencari bukti itu. Kalau pengadilannya juga tidak bisa mencari, kemudian menyatakan itu bebas, ya ini susah," tukasnya.
Menurut Hasyim, satu-satunya jalan adalah mengimbau kepada seluruh aparat penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Konstitusi untuk mengadakan judicial review terhadap UU Atti Korupsi. Ini supaya tidak terjadi tarik ulur yang memungkinkan keputusan-keputusan yang sangat berjarak antara rasa keadilan dan keputusan formal.
Hasyim juga mengimbau kepada semua perangkat hukum pada tingkat penyidikan, tingkat penuntutan, dan tingkat keputusan, dan tingkat advokasi, supaya kembali pada hati nurani. "Sebab bila tidak, hukum bisa dibalik-balik karena sekarang hukum sudah bergeser menjadi bisnis hukum," katanya. (dc/cih)