M. Maksum: Pemerintah Harus Berani Atur Juragan Baru Rokok Sampoerna
Kamis, 17 Maret 2005 | 13:08 WIB
Jakarta, NU Online
Rencana keluarga Sampoerna untuk menanamkan total hasil penjualan saham mereka di PT Hanjaya Mandala Sampoerna ke dalam sektor infrastruktur kelistrikan dianggap belum mampu menjawab teka-teki di balik penjualan saham mereka kepada Philip Morris International (PMI. Sejumlah pemerhati industri rokok nasional pun lantas berspekulasi kalau-kalau keluarga Sampoerna menjadi instrumen Amerika Serikat untuk menguasai perekonomian Indonesia. Terlepas dari spekulasi itu, sejumlah pakar ekonomi lainnya justeru menganggap akuisisi Philip Morris atas Sampoerna menjadi penanda pulihnya kepercayaan pemilik modal asing terhadap iklim investasi di Indonesia.
“Bila kita bicara investasi asing, maka berpindahnya kepemilikan HM Sampoerna ke tangan Philip Morris International berarti investasi di dalam negeri telah menunjukkan kemajuan, sebab sejak menjelang krisis ekonomi hingga saat ini, negeri ini sangat miskin investasi,” jawab Direktur Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK-UGM) Dr. Ir. M. Maksum,M.Sc, kepada NU Online, Kamis (17/03).
<>Ditambahkan oleh Maksum, bahwa salah satu contoh miskinnya negeri ini dari investasi bisa ditunjukkan dari kondisi investasi asing di sektor mining (pertambangan: Red.) sebelum krisis ekonomi, sangat memprihatinkan. Saat itu, investasi di sektor mining tampak sangat surut, padahal pada saat yang sama investasi sektor mining secara global terus menerus mengalami peningkatan yang luar biasa.
Hal itu, lanjut Maksum, terjadi karena faktor rendahnya trust (kepercayaan: Red.) dari kalangan investor asing terhadap iklim investasi di dalam negeri. “Jadi masuknya Philip Morris di perusahaan rokok HM Sampoerna, bisa kita baca sebagai pulihnya trust atau kepercayaan pemodal asing terhadap iklim investasi di Indonesia,” ujar staf pengajar jurusan teknologi industri pertanian di UGM ini.
Berkaitan dengan investasi itu, tutur Maksum, negara tidak boleh berpangku tangan. “Negara harus tetap menentukan jenis-jenis investasi yang sesuai dengan kepentingan ekonomi, sosial dan politik,” ingatnya mewanti-wanti.
Maksum pun mencontohkan, misalnya untuk investasi sektor mining, negara menurutnya, harus mempertimbangkan seberapa besar investor asing yang menginvestasikan modalnya di sektor tersebut akan mampu memberikan manfaat kepada lingkungan masyarakat setempat. “Begitu juga dengan investasi sektor agro, seperti dalam perusahaan rokok, harus diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberikan manfaat dan kesejahteraan kepada petani tembakau. Jadi tidak asal mengundang investor tanpa penataan dan menimbang kebutuhannya,” ujarnya.
Agar masyarakat, lingkungan dan buruh tidak dirugikan, Maksum mengatakan, bahwa investor manapun itu harus tunduk pada ketentuan yang berlaku, jadi kalaupun investornya sekaliber Philip Morris, juga tetap harus memenuhi fungsi-fungsi industri rokok. “Celakanya, pemerintah seringkali bersemangat mengundang investor asing sehingga terlalu menuruti berbagai kemudahan yang dituntut mereka, seperti menuntut pembebasan pajak, pengendalian buruh, “ katanya.
“Kalau itu yang dituntut seharusnya pemerintah tidak mengabulkannya. Sebab, dengan memberikan kemudahan di awal, untuk kemudian diketatkan dapat mengakibatkan mereka kehilangan kepercayaan kepada Pemerintah Indonesiatrust,” tegasnya.
Sebaiknya, lanjut Maksum, sebelum mengundang para investor asing, perangkat-perangkat penataan untuk melindungi kepentingan masyarakat, ekonomi dan politik perlu disiapkan lebih dahulu. Maksum pun mencontohkan, bahwa negara bisa saja mempersyaratkan Philip Morris untuk membeli tembakau petani dalam negeri atau setidaknya membatasi volume impor tembakau untuk menyelamatkan petani tembakau dari kebangkrutan.
“Tapi saya sanksi, apakah negara kita bisa mengatur Philip Morris, raksasa rokok dari Amerika itu,” ungkapnya dengan pesimis.
Menurutnya, bila negara terlalu menuruti tuntutan investor asing, misalnya dengan memberikan kemudahan dalam mengimpor bahan baku tembakau yang sebenarnya telah dihasilkan para petani di dalam negeri, maka petani tembakau pasti "gulung tikar" alias bangkrut. “Itu namanya, menjadikan investor asing seperti pagar makan tanaman,” ujarnya.
Penataan yang sama yang tidak boleh dilupakan, kata Maksum, adalah perlindungan terhadap nasib buruh pabrik Sampoerna, sebisa mungkin jangan sampai mereka menjadi korban pemutusan hubungan kerja. “Apa manfaatnya kehadiran investasi asing, jika malah mengakibatkan pengangguran di mana-mana,” kata Maksum.
Dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh pergantian pemilik perusahaan rokok Sampoerna tidak bisa dianggap remeh. Sebab, disamping jumlah tenaga kerjanya yang tersebar di pabrik-pabrik baik di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta yang mencapai hampir 37 ribu orang, mereka yang terlibat dalam mata rantai industri rokok ini, secara nasional mencapai hampir 24 juta orang yang bergerak di sektor distribusi, akomodasi, maupun petani tembakau.
“Jadi kejelasan standar operasi dari investor asing harus dibuat lebih