Warta

Lesbumi NU Perlu Kuasai Industri Film

Sabtu, 29 Januari 2011 | 11:00 WIB

Jakarta, NU Online
Lesbumi NU dilahirkan oleh tokoh-tokoh yang bergerak dalam dunia film seperti Asrul Sani, Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail. Sayangnya peran Lesbumi dalam bidang seni ini tenggelam.

Pengamat politik Bisri Effendi berharap agar Lesbumi NU kembali mengembangkan bidang ini, mengingat film sekarang menjadi fokus masyarakat. Ia menyayangkan film religi yang beredar sekarang, seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, sangat bernuansa kearab-araban.<>

“Jika Lesbumi mampu mengisi film, mampu mengawal bagaimana proses modernisasi berlangsung. Kenapa NU sekarang tidak menyiapkan orang seperti Asrul Sani, apalagi ketika fokus masyarakat ke sana. Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih sangat arabisasi,” katanya dalam diskusi Politik dan Kebudayaan yang digelar oleh Lesbumi NU, Jum’at (28/1) sore di Gedung PBNU.

Dikatakannya, Asrul Sani memiliki pemahaman kebudayaan dan keindonesiaan yang kuat, tidak sekedar melakukan imitasi budaya Barat. Mengutip Asrul tentang latar belakang film yang berasal dari Barat, Asrul berpendapat “Kami merupakan pewaris kebudayaan dunia dan kami akan melanjutkan dengan cara kami sendiri”. Ini berbeda dengan tokoh lain waktu itu yang memandang kebudayaan sebagai warisan nenek moyang.

Tugas berat juga harus diemban oleh Lesbumi NU dalam melawan politik kebudayaan yang selama ini telah menafikan peran NU. Polemik kebudayaan tahun 30-an juga hanya menyebut perdebatan antara Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisyahbana, tak terlihat sama sekali peran KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah.

Dijelaskannya, NU bukan sama sekali tidak tampil dalam perdebatan mengenai arah kebudayaan Indonesia ke depan dalam era tersebut. Ia pernah menemukan dokumen di Taman Siswa yang berisi transkrip perdebatan Kiai Hasyim Asy’ari dan Ki Hajar Dewantoro tentang kebudayaan.

“Apa memang peran kebudayaan NU sengaja tidak diungkap. Ada politik narasi dan konstruksi supaya peran NU tidak terlihat. Kongres kebudayaan tahun 1926 di Surabaya saat kelahiran NU juga tidak menyebut peran NU,” tanyanya.

Pada era Gus Dur, tokoh ini mencoba mengembangkan berbagai pemikiran budaya dan berfikir budaya tidak hanya pada aspek sastra, sebagaimana yang dikembangkan Belanda. Gus Dur telah melahirkan budaya kritis. (mkf)


Terkait