Warta

Lakpesdam NU Mesir Jelajah Maktabah di Kairo (1)

Sabtu, 7 Mei 2011 | 00:04 WIB

Senin, 02 Mei 2011, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang Istemewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir mengadakan rihlah maktabah sekitar kota Kairo, Mesir. Senin itu bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas); sebagai penghormatan atas lahirnya salah seorang tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara atau penyandang nama asli Raden Mas Soewardi, berkat kegigihan, jasa dan gairah beliau kepada pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, jalan-jalan maktabah ini, selain langkah melestarikan kesadaran seorang intelektual, semerta memperingati hari pendidikan di Indonesia.

Hal ini yang menjadi latar belakang pengadaan rihlah maktabah Lakpesdam, seperti dikatakan anggota divisi pemikiran Lakpesdam, Ronny Giat Brahmantyo. Katanya, melalui kegiatan ini, kami berharap menambah gairah, semangat dan antusias kepada makna paling esensial dari pendidikan secara luas, serta minat baca pada peserta khususnya. Mengingat buku adalah salah satu unsur penunjang sangat penting dalam pendidikan, seperti kata pepatah yang sering kali kita dengar: “Buku Adalah jendela Dunia”.<>

Kegiatan ini tidak diperuntukkan bagi anggota Lakpesdam saja, tapi mengikut sertakan seksi pendidikan dari Marhalah Mujadid—generasi PCINU “paling anyar” di Kairo, Mesir. Partisipasi kawan-kawan Mujaddid, selain tujuan utama tersebut di atas, untuk memperkenalkan nilai unik, karakter dan pemetaan setiap maktabah di negeri para Nabi ini, Mesir. Semerta menunjukkan betapa luas cakrawala dan  dinamika intelekual yang terdapat di tanah Pyramid ini.

Maktabah yang hendak dikunjungi adalah Maktabah yang terletak dekat Dar Al Qadla, kemudian sekitar Down Town, Attaba dan, terakhir, di daerah sekitar Husein, Darrasah.

Maktabah pertama yang kami kunjungi adalah The General Egyptian Book Organization, populer dengan nama Hai’ah ‘Ammah. Sedang Masisir melafalkannya dengan “Maktabah Al Usrah”. Maktabah Usrah yang berdekatan dengan Dar El Qadla, setidaknya ada 3 (tiga). Mulai dari terma filsafat, keislaman kontemporer, turats Islam dll, tersedia di maktabah ini; Hai`ah ‘Ammah. Maktabah ini terbilang cukup ideal untuk ukuran kantong mahasiswa, alias sebegitu banyak varian buku, namun tersedia dengan harga terjangkau.

Berdirinya Maktabah ini atas keputusan resmi no. 2826 yang dikeluarkan mantan presiden Mesir, Husni Mubarak, tahun 1971. Menginduk pada keputusan resmi di atas, presiden kembali mengeluarkan ketetapan tahun 1993 untuk mendirikan al-Hai’ah al-Ammah li Dar al-Kutub wa al-Watsaiq. Ada beberapa keistimewaan Maktabah Usrah ini, diantaranya adalah mencetak ulang buku-buku yang sudah tidak dicetak oleh maktabah-maktabah lain, menterjemahkan buku-buku asing ke bahasa Arab, atau sebaliknya. Kitapun bisa mendapati prestasi Maktabah Usrah, diantaranya Maktabah ini mencetak ensiklopedi perempuan sepanjang sejarah (Mawsu’at al-Mar’ah ‘ibr al-Ushur), ensiklopedi Mesir kontemporer (Mawsu’at Mishr al-Haditsah), mencetak Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, ensiklopedi akademis seputar peradaban Islam. Maktabah ini pernah mendapat penghargaan sebagai penerbit terbaik tahun 2001.

Bagi penggemar kajian sejarah, di Maktabah ini bisa ditemukan berbagai literatur semisal Malamih Al-Qahirah fi Alf Sanah karya Gamal Ghaithan ataupun Huriyyah Al-Fikr wa Abthaluha fi Al-Tarikh karya Salamah Musa. Sedangkan dalam kajian pemikiran dan filsafat akan kita temukan semisal buku Al-Iman wa Al-Ma`rifah wa Al-Falsafah karya Muhammad Husain Haikal, juga Al-Idiyulujiya Al-`Arabiyah Al-Mu`ashirah karya Abdullah `Urwiy. Di bagian kesusastraan akan mudah kita temukan semisal buku Nabi bila Atba`in karya Khalid Al-Shawiy ataupun Wafa Al-Zaman karya Amin Al-Raihan. Lain pada itu, akan banyak karya-karya lainnya yang terpampang rapi di sana.

Jelajah maktabah dilanjut dengan jalan kaki. Incaran selanjutnya adalah maktabah yang tak jauh dari lokasi Hai’ah ‘Ammah, Dar El Maaref. Di kawasan Down Town, selain Dar El Maaref,  ada maktabah lain yang sebenarnya perlu dikunjungi, semisal maktabah Madboulli, Dar El Shorouk yang terletak di Maidan Thal'at Basya, kemudian Dar al-Kitab al-Mishri al-Lubnani di belakang Dar Al Maaref.

Buku-buku di Dar El Maaref yang tertata rapi dikelompokkan sesuai isi materi, memudahkan eksplorasi buku. Selain harga buku masih bisa dijangkau mahasiswa, juga bejibun varian buku ada di sini. Semisal buku-buku Bintu Shati’, syeikh al akbar Abdul Halim Mahmud, filsuf Ali Syami’ an Nasyar, Abd al-Wahhab al-Mashiri, Abd al-Rahman Badawi dll. Kemudian, rak buku-buku filsafat, sosiologi, bahasa, sastra, dan keislaman pun segera diserbu. Kawan-kawan sesegera menghinggapi rak buku yang dicari untuk efesiensi waktu. Buku Thaha Husein, Abbas Mahmud al-Aqqad, Syawqi Dlaif pun bisa dengan mudah didapatkan di sini.

Secara teritorial, Dar el-Maarif terletak di pertengahan Mesir. Maktabah lain yang terletak di sekitar kawasan itu sebenarnya banyak. Selain yang sudah tersebut di atas, ada maktabah Angelo yang kami lewati selepas dari Dar Al Maaref. Dari luar tampak menarik, ada buku-buku cetakan Oxford, pinguin dan beberapa buku berbahasa Inggris lainnya berderet di balik kaca etalase maktabah. “Beberapa buku Hassan Hanafi yang lama dijual di sini”, tandas Ahmad Hadidul Fahmi, koordinator umum Lakpesdam PCINU Mesir. Ada pula Maktabah Al-Jami'ah Al Amirikiyyah, yang terletak di dalam Universitas Kairo di Maidan Tahrir, Maktabah al-Nahdlah, di dekat Opera, Dar al-Kitab al-Arabi yang terletak di Jalan 'Abdul Khaliq Tsarwat. Sayang, kami harus segera menuju pusat buku second Azbaqeeya di kawasan Attaba. Terlebih ibadah shalat Dzuhur harus segera ditunaikan, sembari menunggu hadirnya waktu Ashar di Masjid Attaba.

Azbaqeeya tetap ramai seperti biasa. Mengunjungi deretan toko yang jual buku-buku second memang tak memikat hati bagi sebagian orang. Tapi kala dilihat lebih dekat, diamati dengan teliti, tumpukan buku yang sebagian usang justru sangat bernilai di sebagian orang, terutama Mahasiswa. Bejibun maktabah berjajar di Azbaqeeya memang menjadi tempat favorit pecinta buku. Selain banyak macam buku dapat dipilih, harga jelas jauh lebih miring alias murah meriah. Apalagi berjubal buku bagus dan, bahkan, langka bisa didapat di sini. Seperti di toko Alif Ba’. Keistimewaan Ali Ba, kita bisa memesan buku yang sulit dicari di Maktabah lain.

“Mencari buku di Azbaqeeya itu seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami. Kita harus pandai memilih”, tutur Nora Burhanuddin, Anggota Lakpesdam Divisi Pemikiran. Buku-buku itu memang tak tertata seperti di maktabah sebelumnya, tapi ditumpuk acak dan membuat pengunjung harus jeli. Ada beberapa maktabah yang menarik selain untuk dikunjungi, juga untuk dibincang. Mengunjungi maktabah dengan tumpukan kitab yang sebagian besar tampak sangat usang memberikan kesan cukup unik, menarik. Buku-buku itu tampak lusuh namun dijual dengan harga selangit, misal di toko Aulad Abduh, lantaran cetakan pertama yang sudah barang tentu sulit didapat di penerbit. Selain itu, Azbaqeeya juga menawarkan tumpukan buku berbahasa asing dengan harga yang jauh lebih murah. Mulai bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Turki dan lain-lain. Kebanyakan buku impor. Buku-buku tersebut jelas memiliki keunggulan dibanding buku-buku bahasa asing yang di-translate dalam bahasa Arab atau lainnya. Versi original sebuah buku memberi pemahaman dan refleksi yang original pula dari pemikiran penulisnya. bejubel tema dan bahasa yang dapat dipilih di Azbaqeeya, juga menambah nilai plus tersendiri.

Penamaan Azbaqeeya sejatinya merujuk pada akhir abad ke 14 H, kala Sultan Ashyraf Saif al-Din Qha'it Bay menghadiahkan sebidang tanah pada Attabik Saif al-Din bin Azbeq. Sebelum menjadi Attabik, Saif al-Din bin Azbeq adalah budak dari sultan Asyraf Basrybay, kemudian dibeli oleh sultan Dzahir dan mengabdi pada sultan Qhait Bay selama 30 tahun. Jadi, Azbaqeeya adalah nisbat pada Attabik bin Azbeq, pemimpin pasukan dari Mamalik. Tanah tersebut pada mulanya adalah tanah tandus yang hanya terisi dua makam. Kemudian dialiri air, dibangun batu agar menjadi tempat berjalan, dan dibangun pula Masjid Besar di aera tersebut. Ibn Azbeq pada akhirnya meninggal di sini. Pada masa Ottoman, tahun 1517, di Azbaqeyya, Ridwan Katkhoda membangun istana besar, dan menamakannya dengan pintu biru (Attabah az-Zarqa'). Selepas datangnya Napoleon Bonaparte ke Mesir, tahun 1798, bangunan di Azbaqeyya mulai direnovasi dengan model baru. Akhirnya pada masa Khedive Isma'il, selepas kepulangannya dari pameran buku di Paris, ia menghendaki Azbaqeyya difungsikan sebagaimana pameran buku yang baru ia lihat. Penamaan "pintu biru" yang disematkan oleh Ridwan Katkhoda, diperuntukkan untuk sebagian tanah, dan sebagian yang lain diberi nama "Azbeq". Akan tetapi pada masa Khedive 'Abbas Hilmi pertama, namanya dirubah menjadi 'al-Attabah al-Khadlra'. Bangunan-bangunan di Azbaqeyya berubah total setelah kebakaran yang terjadi pada 26 Januari, 1952. (bersambung…)


Terkait