Jakarta, NU Online
Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ma'ruf Amin menyatakan bahwa kewajiban mengeluarkan kurban tidak dapat diganti dengan uang, sebagaimana pendapat yang disampaikan sebagian orang bahwa kurban dapat diganti uang dengan memberikan bantuan kepada masyarakat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mengalami bencana gempa dan gelombang tsunami.
"Kurban itu tidak dapat diuangkan, kalau dengan uang itu namanya shadaqoh, bukan kurban lagi, karena kurban itu berarti memotong atau menyembelih kurban, maka karena itu ia tidak dapat diuangkan atau diganti," kata Kyai Ma'ruf Amin yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI, kepada NU Online, Jum'at (14/1). Meskipun demikian, MUI juga menyatakan bahwa kedua hal (berkurban dan menyumbang ke Aceh) sama-sama memiliki kelebihan, dan dianjurkan bagi masyarakat untuk melakukan keduanya.
<>"Ulama memutuskan bahwa keduanya memiliki kelebihan, karena itu dianjurkan agar masyarakat memberikan sumbangan ke Aceh, tapi juga memotong kurban, sebab bantuan ke Aceh sangat dibutuhkan, begitu juga daging kurban," kata Ma’ruf.
Ia menjelaskan bahwa daging kurban itu dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga meniadakannya akan menimbulkan persoalan baru. "Masyarakat dianjurkan untuk melakukan keduanya, keduanya memiliki keutamaan satu sama lain yang tidak mungkin dilebihkan atau dikurangkan," ungkap kyai kelahiran Banten ini.
Karena itu jika ada masyarakat yang ingin berkurban, lanjut pengurus PBNU sejak jaman Gus Dur ini, alternatifnya ada dua, dibelikan hewan uangnya dikirm di aceh atau dibeli disini dipotong disini kemudian dagingnya dikirim ke aceh, persoalannya sekarang ini mana yang lebih utama sodaqoh seharga qurban atau menyembelih hewan qurban.
"Dalam keadaan normal, menyembelih qurban itu lebih utama daripada bersodaqoh uang seharga hewan. Dalam situasi seperti sekarang ini (di Aceh-red) makan keutamaannya adalah sama, tidak ada yang lebih. Sebab disana juga membutuhkan keduanya. Karena itu saya menganjurkan keduanya karena sama-sama baik, jika tidak dapat dipilih salah satunya, jika memang mampu," tegasnya.
Senada dengan kyai Ma'ruf, Katib 'Aam Syuriah PBNU, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. mengatakan sependapat, menurutnya, posisi kurban itu kalau di konversi menjadi bantuan Aceh tidak dalam bentuk hewan qurban, itu bukan lagi kurban tapi shodaqoh, tetapi tingkat urgensinya juga sama-sama penting. Jadi fardu kifayah bisa meningkat jadi fardu 'ain dalam posisi seperti sekarang ini, Aceh itu lebih urgen. "Jadi apabila ada dua yang urgen dan mempunyai kepentingan yang sama, maka kita harus memilih mana yang paling urgen demikian pula sebaliknya," katanya kepada NU.Online dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, sikap dan prinsip membantu dalam berkurban seperti disyariatkan dalam agama itu masih relevan. Jadi tidak benar juga pendapat yang mengatakan sekarang ini karena kondisi di Aceh tidak boleh berkurban yang ada adalah bantuan ke Aceh, pendapat itu juga tidak benar. Karena dikhawatirkan, masalah-masalah sosial bisa menggugurkan hukum syar'i yang formal.
"Karena itu, pada akhirnya institusi kurban itu bisa berubah, tahun depan bukan Aceh lagi, tapi daerah lain yang tertimpa bencana, akhirnya kurban itu ditiadakan suatu saat, padahal kurban itu sesuatu yang sangat khusus. Jadi suatu saat nanti jika terlalu menggampangkan kurban, maka bukan hanya berdampak pada kurban saja yang akan ditinjau kembali tapi akan berdampak pada instutisi lain seperti tidak usah haji karena alasan-alasan tertentu, atau zakat dan seterusnya," papar guru besar IAIN Syarif Hidayatullah ini.
"Jadi ini ada resikonya kalau kita mengangap kurban itu bisa di konversi menjadi shodaqoh, karena itu shodaqoh ya shodaqoh, qurban ya qurban. Tapi dilihat dari prioritasnya, mana yang paling mungkin dilakukan, apakah membantu bencana Aceh atau berkurban. Tapi idealnya kedua-duanya, dan kalau tidak bisa keduanya terpulang pada pribadi masing-masing apakah mau bershodaqoh atau berkurban," tandas mantan ketua Syuriah PWNU Sulsel ini. (cih)