Brussel, NU Online
Konferensi Internasional tentang Irak mulai digelar kemarin, Rabu 22 Juni 2005 di Brussel. Konferensi yang digagas oleh AS dan Uni Eropa di ibu kota Belgia itu akan berlanjut hingga dua hari dan melibatkan para menteri dan delegasi dari 70 negara lebih. Selain Irak sendiri, negara-negara tetangganya yaitu, Iran, Turki, Suriah, Yordania, Kuwait, dan Arab Saudi juga mengirim delegasinya ke Brussel.
Menjelang konferensi itu, Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Kofi Annan menyerukan kepada masyarakat dunia agar memberikan bantuan dan dukungan yang nyata kepada Irak. Agenda utama konferensi itu sendiri antara lain ialah membahas masalah bantuan kepada Irak baik dari segi politik, ekonomi maupun keamanan.
<>Masalah rekonstruksi dan pemberian keringanan utang luar negeri Irak yang sebenarnya sudah sering dibicarakan sejak dua tahun silam, kali ini dibicarakan lagi secara lebih serius. Tema rekonstruksi Irak, meskipun sudah sering diangkat dalam berbagai forum, tetapi pada tataran praktik selalu terbengkalai, dan ini terjadi karena faktor keamanan yang belum kunjung pulih di Irak. Gejolak situasi kekerasan di Irak menyebabkan tidak ada satupun negara yang berani menanggung resiko menanamkan investasinya di negeri 1001 Malam tersebut. Betapapun demikian, upaya pemerintahan transisi Irak untuk menegakkan tatanan politik dan supremasi hukum di negara ini tetaplah membutuhkan dukungan bulat dari masyarakat internasional.
Sementara itu, menanggapi Konferensi Brussel, sebagian pengamat meyakininya sebagai ajang perhelatan AS untuk melicinkan interesnya sendiri di Irak. Seperti diketahui, invasi dan pendudukan AS terhadap Irak sampai sekarang masih dihinggapi kecaman dari khalayak dunia, terutama masyarakat Irak sendiri. Karena itu, AS hingga kini masih ingin mencari mitra dalam melanjutkan kebijakan dan kinerjanya di Irak. Para pejabat AS sendiri secara terbuka menyatakan konferensi Brussel itu bukan merupakan forum pertemuan negara-negara yang membantu Irak, melainkan satu peristiwa simbolik bagi memperkuat posisi diplomatik pemerintah AS terkiat masalah pendudukan atas Irak.
Pernyataan ini sudah memperjelas misi AS yang sebenarnya dalam memelopori konferensi Brussel. Betapapun demikian, layak diingat bahwa Irak sudah sekian lama didera sanksi internasional sebelum kemudian perang dan pendudukan. Karena itu, bagaimanapun juga rakyat dan pemerintah Irak sangat memerlukan empati, simpati, dan partisipasi masyarakat dunia dalam upaya mengatasi kemelut politik, ekonomi, sosial, dan keamanannya. Oleh sebab itu, Konferensi Brussel tetap layak dipandang sebagai momentum bagi para pejabat Irak untuk mengajukan proposal dan pendapatnya mengenai Irak sebelum kemudian bagi masyarakat dunia untuk meresponnya dengan bantuan dan kerjasama yang saling menguntungkan.(IRIB/Die)