Kenaikan Harga Jadi Momentum Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional
Rabu, 14 Mei 2008 | 12:43 WIB
Kenaikan harga pangan global yang berimbas ke Indonesia saat ini bisa menjadi momentum menuju kebijakan ketahanan pangan nasional yang berorientasi pada produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada produk impor.
Demikian diungkapkan oleh Ahli Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Muhammad Maksum dalam seminar ”Petani Menjawab Krisis Pangan: Saatnya untuk Kedaulatan Pangan” yang diselenggarakan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta, Rabu (14/5).<>
Maksum yang juga wakil ketua PWNU Yogyakarta ini menuturkan, kebijakan pangan yang berbasis pada impor layaknya seperti bunuh diri. Ketika harga global mengalami kenaikan, pemerintah bingung mencari solusinya, sementara produk dalam negeri sudah lama dianaktirikan sehingga petani enggan berproduksi, seperti terjadi dalam produk kedelai.
”Kita ini berdosa kepada Allah karena kodratnya sebagai negara agraris. Kita berdosa kepada petani yang dimurahkan harga pangannya agar tetangganya yang tak punya lahan bisa membeli dengan harga murah, termasuk pejabat dan profesor, padahal mereka hanya punya lahan 3000 meter persegi,” katanya.
Kebijakan yang sangat menyengsarakan petani ini merupakan saran dari IMF, WTO dan World Bank. Konsep Ketahanan pangan yang mereka kembangkan tak memperdulikan petani lokal di negara-negara berkembang. Kebutuhan pangan bisa dicukupi darimana saja, termasuk impor.
”Romantisme harga pangan murah sudah masa lalu. Ini menjebak kita dan merusak kedaulatan pangan,” tandasnya.
Kebijakan mengurangi kemiskinan, menurut Maksum seharusnya tidak diatasi dengan menurunkan harga pangan yang merugikan petani, tetapi menaikkan pendapatan masyarakat sehingga daya belinya naik.
”Kita salah dalam mengintepretasikan gemah ripah loh jinawi hanya memaknai harga pangan murah, padahal ada kelanjutanya, sarwo tinuku, yang artinya semuanya terbeli atau rakyat makmur karena daya belinya tinggi,” katanya.
Perilaku para pejabat di Indonesia juga mencerminkan orientasi yang sangat berjangka pendek, hanya demi keuntungan finansial. Pada akhir tahun 2007 mereka meributkan data bahwa Indonesia kekurangan beras dan perlu impor,.namun, berselang dua bulan kemudian, dengan data yang sama, pejabat tersebut bilang Indonesia mau mengekspor beras ketika harga internasional lebih tinggi. ”Ini esok tempe sore dele ( plin-plan)” tandasnya.
Akibat marginalisasi sektor pertanian ini, generasi muda Indonesia tak tertarik lagi untuk terjun ke sektor ini. Fakultas Pertanian tidak menarik karena tak menjanjikan. Maksum menuturkan mahasiswa S2-nya yang datang dari Philipina sangat bangga dengan para petani karena disana dianggap sebagai golongan yang kaya.
” Di Indonesia, ABG jijik terhadap pertanian. Ini negara agraris yang menistakan pertanian,” ujarnya.
Kebijakan perdagangan internasional Indonesia dinilainya juga tidak mendorong terjadinya produksi dalam negeri yang bisa menimbulkan efek berganda yang besar. Produk yang diekspor hanyalah bahan mentah seperti karet, kakao, biji emas yang kemudian diimpor lagi setelah menjadi ban, coklat batangan dan emas perhiasan. (mkf)