Jakarta, NU Online
Ngototnya negara-negara maju dalam mempertahankan kebijakan subsidi sektor pertanian mereka telah membuktikan, bahwa WTO hanya menjadi alat untuk membuka secara paksa pasar negara berkembang bagi produk-produk mereka.
Padahal, baik negara – negara berkembang, maupun negara-negara maju memiliki saling ketergantungan dalam bidang ekonomi. Karena negara-negara maju menolak tuntutan negara – negara berkembang agar menghapus semua bentuk bantuan kepada para petani mereka. Maka negara-negara berkembang yang harus memikirkan pemasaran produk-produk dari para petani mereka pun bangkit “melawan”.
<>Seperti dalam pertemuan WTO di Cancun, Meksiko, September 2003 lalu, negara-negara maju menuntut agar negara-negara berkembang menghapus semua tarif pertanian mereka. Tuntutan ini serta merta ditolak para perwakilan negara-negara berkembang. Jika pertemuan WTO di Cancun berakhir dengan kemacetan, pada pertemuan WTO sampai hari ketiga, Kamis (29/7) di Geneva, negara-negara berkembang masih bertahan pada tuntutan semula.
Meskipun demikian, pada pertemuan kecil antara kelima negara kunci WTO (AS, Australia, Uni Eropa, India, dan Brasil) di Geneva telah menunjukkan tanda-tanda akan dicapainya “kesepakatan”. Para pengambil kebijakan di Indonesia seharusnya dapat belajar dari kegigihan diplomasi negara-negara berkembang lainnya di WTO dalam menuntut pencabutan subsidi sektor pertanian negara-negara maju.
“Tanpa belajar membangun kemampuan dalam diplomasi ekonomi, Indonesia hanya akan menjadi bulan-bulanan negara-negara maju. Buktinya, WTO yang seharusnya membangun hubungan perdagangan dengan prinsip kesetaraan, kenyataannya digunakan negara-negara maju sebagai forum yang membebaskan mereka untuk menjajah negara berkembang,”kata Direktur Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK-UGM) Mochammad Maksum kepada NU Online, Jumat (30/7).
Maksum yang juga ketua PWNU DI Yogyakarta ini mengemukakan, bahwa dibandingkan negara-negara berkembang lainnya, diplomasi ekonomi Indonesia bisa dikatakan jeblok. Maksum pun memberikan bukti, bahwa pada saat forum APEC di Bogor tahun 1994, di mana dalam pembuatan kesepakatan multilateral untuk ditandatangani negara-negara Asia, kehebatan diplomasi Malaysia ditunjukkan dengan menolak kesepakatan itu. Baru setelah beberapa lama kesepakatan itu dibuat, Malaysia bersedia menandatangani kesepakatan itu setelah terlebih dahulu dilakukan revisi atas draft perjanjiannya.
“Bertolak belakang dengan Malaysia, pada saat itu, Presiden Soeharto malah membebaskan tarif impor gula dan beras. Jebloknya diplomasi itu telah memperparah kemiskinan masyarakat di sektor pertanian padi, dan industri gula,”tandas Maksum
Salah satu kecanggihan diplomasi memang ada pada kekuatan manajemen informasi. Maksum pun mengambil konsep Indonesian Summit Sustainable Developtment sebagai contoh betapa lemahnya penggunaan data sebagai pertimbangan pengambilan keputusan. Ujung-ujungnya dalam konsep itu disebutkan illegal logging (penebangan/pencurian kayu liar) akan mampu diselesaikan pemberantasannya pada tahun 2020. Tidak hanya itu, pada tahun 2007 dicanangkan swasembada gula.
“Dengan jumlah impor gula mencapai 1,5 juta ton pada 2004 berarti dalam waktu tiga tahun yang akan datang, Indonesia harus mampu meningkatkan produksi gula nasional sebanyak dua kali produksi pada tahun ini,”papar Maksum. Karena lemahnya manajemen informasi itu, Maksum pun melihat semua konsep yang dibuat di atas terkesan mengada-ada.
Senada dengan Maksum, Ahli Ekonomi Politik dan Analis Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Andrinof A. Chaniago mengemukakan, bahwa masa depan sektor pertanian nasional sangat tergantung dari kemampuan pemerintah dalam membangun kecanggihan diplomasi. Apalagi ketergantungan Indonesia terhadap pasar di negara-negara maju sangat tinggi.
“50 persen pasar kita bergantung kepada Amerika Serikat, sisanya Jepang, Uni Eropa, dan China,”ungkap dosen PPS UI yang akrab dipanggil dengan Andrinof ini.
Menurut Andrinof, tanpa kecanggihan diplomasi di bidang ekonomi, sulit bagi Indonesia melindungi sektor pertaniannya. Karena dalam mempertahankan atau memperluas pemasaran bagi produk-produk pertanian Indonesia di AS, Uni Eropa, dan negara lainnya diperlukan kecanggihan dalam diplomasi, termasuk melindungi sektor pertanian dan pasar dalam negeri dari serbuan produk-produk negara maju.
Andrinof pun mengambil contoh atas penolakan AS terhadap mangga dari Indonesia dengan alasan tidak higienis atau kurang memenuhi standar kesehatan. “Padahal AS bersedia menerima mangga dari Philipina yang kualitasnya sama dengan mangga