Masih ingat Jurnal Prisma? Jurnal ilmiah yang diterbitkan LP3ES ini telah memunculkan beberapa tokoh pemikir Indonesia. Di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) sendiri jurnal ini juga sempat membantu persemaian beberapa intelektual NU seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Abdullah Sjarwani, M. M. Billah, Arief Mudatsir Mandan, dan masih banyak lagi.
Kini Jurnal Prisma akan diterbitkan kembali. Namun ia tidak bisa hadir dalam format abad ke-20 dalam bentuk cetak saja. Akan diterbitkan juga ”Prisma Online” agar mudah diakses siapa saja dari mana saja. NU Online diminta untuk turut mempersiapkan ”Prisma Abad ke-21” ini.<>
”Prisma sengaja diterbitkan kembali untuk mengisi kekosongan jurnal ilmiah selama hampir sepuluh tahun terakhir ini, agar suasana ilmiah terutama di luar kampus bergerak lebih dinamis, seperti yang terjadi dua dasawarsa yang lalu,” kata Suhardi Suryadi, Direktir LP3ES dalam sambutan peluncuran kembali Jurnal Prisma, Rabu (17/6) di Hotel Santika Jakarta.
Bagi generasi 1970-hingga 1990-an memang tidak asing lagi dengan Prisma yang saat itu merupakan jurnal ilmiah terkemuka di tanah air, bahkan bisa dikatakan barometer bagi intelektual Indonesia. Prisma memiliki pengaruh besar tidak hanya kalangan mahasiswa tetapi di kalangan aktivis sosial dan pengambil kebijakan. Namun bersamaan runtuhnya Orde Baru jurnal ini turut runtuh juga.
Di jurnal ini beberapa pemikir NU juga mendeseminasikan gagasan pembaruan NU terutama menjelang dan pasca kembali ke khittah 1926. Jurnal ini merupakan salah satu media yang menjadikan NU dikenal oleh publik lebih luas dan menjadi subjek penelitian para sarjana asing maupun domestik.
Daniel Dhakidae, tokoh lama Prisma yang sekarang ini dipercaya untuk membidani lahirnya kembali jurnal ini mengatakan, Prisma ingin “kembali ke khittah tahun 1980” yang memuat artikel serius, sebagai sarana untuk kembali merangsang terjadinya debat publik yang lebih mendalam dan bermutu.
Sepertinya kehadiran Prisma memang ditunggu banyak orang baik kalangan tua maupun muda. Hal itu terlihat antusiasme para penulis Prisma seperti Billy Judono, Emil Salim, MM Billah, Mari E. Pangestu, dan beberapa tokoh ormas serta pejabat pemerintahan. Acara ini juga dihadiri para penulis yang lebih muda seperti Vedi R Hadis dan Rocky Gerung.
Beberapa peserta yang hadir menuturkan, kehadiran Prisma diharapkan mampu menumbuhkan semangat intelektual baru di tengah suasana pragmatis yang dangkal dan kehilangan refleksi serta “kemendalaman” berpikir.
Menurut Daniel yang juga pemimpin redaksi Jurnal Prisma itu, sebenarnya saat ini ini bukan tidak ada jurnal ilmiah yang bermutu, banyak sekali hanya saja sirkulasinya sangat terbatas. Sebagai contoh saat ini ada jurnal ilmiah bermutu di Unair, tetapi tidak pernah diketahui oleh komunitas UGM. Demikian juga terdapat jurnal ilmiah bermutu di Universitas Indonesia, namun tidak dikenal komunitas ITB, Undip, UGM atau di Unair.
Belum lagi jurnal yang ada di kampus di luar Jawa yang hampir tidak dikenal. “Penerbit Prisma sebenarnya ingin menerobos tembok-tembok kampus, mendobrak sektarianisme akademik dengan mengajak mereka ke luar kandang,” katanya.
Karena itu pemimpin redaksi Prisma yang juga mantan Ketua Litbang Kompas itu akan melibatkan para aktivis jurnal kampus yang ada dalam mengelola Prisma ke depan. Diharapkan mereka akan terangkat dari ekslusivitas mereka, sehingga perdebatan akademis akan semakin meluas, dan masyarakat luas juga terlibat di dalamnya.
Namun demikian Daniel mengakui, saat ini menerbitkan jurnal dalam bentuk cetak itu sangat besar tantangannya. Saingan paling ganas, katanya, adalah dari media online. Menurutnya, Prisma tidak bisa hadir dalam bentuk cetak saja, tetapi juga akan diterbitkan "Prisma Online", agar mudah diakses siapa saja dari mana saja.
Daniel Dhakidae meminta NU Online secara khusus untuk turut mempersiapkan Prisma baru ini. Menurutnya, NU Online telah memiliki pengalaman mengelola website besar dan telah berhasil meramaikan debat publik melalui rubrik forum debat yang dikelolanya. (kun/nam)