Jakarta, NU.Online
Sulitnya menangkap dan menghukum pelaku korupsi memunculkan ungkapan aneh "tidak ada koruptor di tengah tingginya korupsi di Indonesia," kata Prof. Dr. Mustafa Abdullah, SH di Palembang, pekan lalu.Kondisi ini terjadi karena kecanggihan sang pelaku serta jaksa yang tidak kompeten dalam melakukan investigasi untuk menemukan bukti kejahatan, kata guru besar hukum pidana yang juga Pembantu Rektor I Unsri itu.
Mustafa mengatakan itu dalam seminar bertajuk "Tantangan dan Permasalahan Aparat Penegak Hukum dalam Upaya Pemberantasan White Collar Crime" yang diselenggarakan FH Unsri bekerja sama dengan Ikatan Alumni Hukum dan sebuah Konsultan Hukum.Menurut dia, kasus korupsi di negeri ini yang sampai ke persidangan hanya diputuskan sebagai kasus perdata dan karena tidak adanya bukti otentik akhirnya pelaku bebas, dan kalaupun ada bukti hukumannya sangat ringan.
<>Kondisi tersebut diperparah oleh faktor non hukum, seperti sistem politik, ekonomi dan sosial budaya yang berlandaskan kediktatoran serta primodialisme dengan mementingkan urusan keluarga, etnik dan golongan.Hal itu menyebabkan munculnya permasalahan baru, seperti rendahnya kepercayaan publik terhadap hukum, munculnya konflik antara institusi pusat dan daerah serta terjadinya tindakan main hakim sendiri, kata Mustafa.
Dalam makalahnya yang berjudul "Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Bentuk White Collar Crime," ia mengatakan penanganan korupsi tersebut harus dilakukan secara komprehensif dan multidisipliner. Sehubungan itu, menurut dia, harus ada kesatuan tekad dari para penegak hukum untuk benar-benar memberantas korupsi hingga ke akarnya serta adanya keterpaduan kerja mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan dimuka pengadilan.
Untuk mewujudkan harapan tersebut diharapkan seluruh elemen bangsa masih memiliki rasa malu dan sadar hukum, karena Indonesia menduduki peringkat kedua negara terkorup setelah Vietnam di Asia Pasifik, tambahnya.(Cih)