Warta

Hadapi Tantangan Baru, Buku Acuan Fikih NU harus Disusun Ulang

Senin, 28 Juli 2008 | 02:19 WIB

Jakarta, NU Online
Tumbuh suburnya aliran Islam baru yang seringkali mempertanyakan amalan ibadah NU tidak sesuai dengan ajaran Islam harus segera direspon dengan penyusunan ulang buku acuan fikih yang secara eksplisi menunjukkan dalil-dalil yang menjadi dasar ibadah tersebut.

”Tidak bisa tidak kita harus meresponnya, maka buku acuan fikih kita yang selama ini tidak ada ayat qur’an dan hadist nabinya harus disusun lagi supaya lengkap. Selama ini kita tidak mau eksplisit. Ulama sudah bilang begitu, masak kita ragu. Sekarang orang lain bertanya, ya kita harus menjawab,” kata Ketua PBNU Masdar F Mas’udi dalam pertemuan dengan para pengurus cabang LP Maarif NU Jepara di gedung PBNU pekan lalu.<>

Dalam model pengajaran agama di lingkungan pesantren, pada tahapan tertentu, santri hanya ditunjukkan cara-cara pelaksanaanya saja. Belajar sholat cukup penjelasan dari kitab kuning tanpa merujuk langsung kepada Al Qur’an dan Hadist, yang akhirnya ketika dipertanyakan orang lain tak bisa menjawabnya.

”Para pengelola pendidikan nahdliyyin harus mulai mengenalkan sedikit demi sedikit sampai mereka bisa memberikan argumen yang tepat dan kuat, ketika ada fihak lain yang sengaja mempertanyakan,” terangnya.

Dari catatan NU Online, perdebatan masalah fikihiyah yang sebenarnya masalah khilafiyah kembali mengemuka dilingkungan NU seperti terbitnya selebaran ”Fatwa Kiai Jombang” yang mempertanyakan amalan NU seperti tahlil, talqin, istihgotsah dan lainnya. Lalu terbit pula buku ”Mantan Kiai NU Menggugat” yang juga menganggap tata cara peribadatan warga NU salah.

Kondisi ini telah meresahkan ummat yang sebagian besar adalah masyarakat awam dan mengikuti saja apa kata kiai sebagai sesuatu yang diyakini benar, tapi tiba-tiba orang lain menudingnya ibadah yang sesat. ”Kini waktunya Qur’an, hadist, ijma dan qiyas dihadirkan secara eksplisit,” tandasnya.

Untuk lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan nahdliyyin, Masdar meminta mereka betul-betul merapatkan barisan di dalam wadah Maarif NU, yang memang tradisi keagamannya nahdiyyin. Ia berharap mereka tak hanya numpang nama, namun secara sadar menjadi wadah kebesamaan sehingga penyatuan potensi ini bisa menjadi kekuatan yang lebih hebat.

Selain itu, lembaga pendidikan ini juga menjadi lahan persemaian proses pengkaderan NU secara organisatoris, bukan sekedar NU kultural, dengan pengembangan IPNU dan IPPNU di setiap sekolah. Ini penting untuk menghindari terjadinya perubahan orientasi ketika mereka sudah lepas dari lembaga pendidikan tersebut.

”Saya sedih melihat alumni pesantren salaf, tapi ketika di Jakarta berubah menjadi aktifis organisasi lain yang merongrong NU,” ujarnya. (mkf)


Terkait