Franky: Industri Musik Nasional Didominasi Perusahaan Asing
Jumat, 17 Desember 2004 | 07:25 WIB
Jakarta, NU Online
Belum lama ini, ketidakadilan dan watak destruktif (merusak: Red.) dari liberalisasi perdagangan terhadap perekonomian negara berkembang kembali dibahas oleh ekonom Amerika sendiri Joseph E Stiglitz. Perusakan yang diakibatkan oleh liberalisasi perdagangan pun menemukan bukti nyata di Indonesia. Praktik destruktif itu, salah satunya, dapat kita saksikan dalam bidang industri musik rekaman saat ini.
Dalam kesempatan dialog dengan NU Online, Kamis (16/12), penyanyi irama country legendaris Franky Sahilatua, mengungkapkan adanya data mengenai terjadinya imperialisasi di wilayah industri musik di Indonesia beberapa tahun terakhir ini.
<>Saat ini menurut Franky, industri musik nasional telah dikuasai sepenuhnya oleh pihak asing. Hancurnya industri musik itu, kata Franky, tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga merontokkan jaringan distribusi dan membunuh kreativitas seni yang sebelumnya telah mengalami perkembangan pesat. Padahal, tambah Franky, perkembangan kreativitas seni itu telah mendorong produksi musik nasional secara besar-besaran. Sebaliknya, sejak industri ini dikuasai pihak asing, produksi musik nasional mengalami kemerosotan tajam. Kalaupun tampak produktif, lanjutnya, hanya tampak dari luarnya, sebab yang dilakukan tidak lebih dari melakukan rekaman ulang hingga membuat pasar jenuh.
.
Ihwal jatuhnya industri musik bermula dari krisis mata uang yang melanda Indonesia saat masih dipimpin mantan Presiden Soeharto. Saat itu, tutur Franky, industri musikpun tak mampu menghindar dari badai krisis yang berkembang menjadi krisis multi dimensi itu. Produser musik asing pun tak membuang kesempatan untuk menjadi pemain baru dalam industri penyimpan suara merdu di Indonesia. Bak pepatah Malang Tak Dapat Ditolak, Untung Tak Dapat Diraih, krisis yang dihadapi para produser musik nasional dengan cara merger antar studio yang mereka miliki masih tak sanggup mengatrol modal industri musik nasional yang jeblok.
“Tawaran pertolongan dari jaringan produser musik asing pun tak kuasa mereka tolak. Tapi lama kelamaan, saham milik produser musik nasional yang minoritas diborong. Tak heran bila saat ini telah terjadi monopoli dalam industri musik lokal oleh kapitalis atau pemodal asing,” ungkap Franky.
Tak dapat dihindarkan, setelah seluruh saham produsen nasional diborong, lanjut Franky, seluruh manajemen pun dijalankan dengan standar asing, dengan seleksi rekaman yang teramat ketat, musisi seakan dipaksa memasuki lubang jarum. Sedikit sekali dari mereka itu yang berhasil lolos. “Dengan cara produksi yang mahal, harga kaset atau CD yang asli otomatis menjadi mahal pula,”kata penyanyi yang masih setia melantunkan lagu-lagu balada ini.
Di sinilah sebenarnya letak dari simpul pembajakan itu, sebab menurut Franky, cara produksi yang teramat mahal itu telah mendorong masyarakat menggunakan produksi illegal atau bajakan yang harganya sangat murah.
“Sekarang bisa kita lihat, industri asing itu telah melakukan demoralisasi bangsa, masyarakat yang sebelumnya bangga dengan produk orisinal, sekarang terbiasa dengan produk bajakan. Sangat mudah dimengerti kenapa pasar musik nasional dikuasai kelompok illegal recording (pembajak) yang jumlahnya mencapai 83,66 persen, sementara produk legalnya hanya sebesar 16,34 persen, ini sungguh sangat tidak sehat.” papar penyanyi yang sekarang menjadi aktivis itu sambil menunjukkan data yang ditemukannya.
Melihat kenyataan itu, penyanyi yang banyak dikenal lewat lantunan lagu-lagu balada itu menawarkan beberapa jalan keluar; pertama, agar dibangun kembali instrumen industri musik dari hulu ke hilir; kedua, membuat produk musik secara resmi dengan harga terjangkau; ketiga, mengembangkan kreativitas musisi muda dalam mengembangkan kesenian modern dan tradisional; keempat, menindak pembajak tanpa pandang bulu dan kelima, mengganti PPN dengan cukai agar bisa terkontrol.
Menurut Franky, penataan industri musik ini penting mengingat ia merupakan media kreasi bagi para seniman, “Penataan produksi musik ini diharapkan bisa mengembalikan lagi pengembangan musik nasional ke tema yang khas keindonesiaannya, di mana musik ditempatkan sebagai sarana pendidikan dan sekaligus dijadikan sarana perjuangan,”ujarnya.
“Reorientasi ini penting, sebab semua fungsi tersebut telah rusak ketika produser asing yang hanya mencari keuntungan materi menguasai produksi musik Indonesia. Cara kapitalis itu nyata-nyata telah menghancurkan produksi musik Indonesia sejak dari pencipta lagu, musisi, penyanyi, distributor, dan agen.. Ketika mereka menjadi produsen baru, semua produsen lama dipaksa gulung tikar. Inilah kekejaman perdagangan bebas, yang mengha