Warta

Film dan Sinetron Indonesia Tak Kelihatan Indonesianya

Ahad, 22 Juni 2008 | 00:23 WIB

Jakarta, NU Online
Film dan sinetron karya orang Indonesia yang muncul akhir-akhir ini sama sekali tidak kelihatan Indonesianya. Selain itu, tidak ada karekter khusus yang membedakan karya yang satu dengan karya lainnya, karena hanya terfokus pada alur cerita yang itu-itu saja.

Sutradara dan aktor senior Slamet Rahardjo Djarot mengaku tidak bisa mengidentifikasi karya khas Indonesia. Sementara Wakil Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) Wowok Hesti Prabowo malah menilai film dan sinetron Indonesia tidak pernah bercerita tentang Indonesia.<>

“Saya hanya tahu itu film Indonesia karena bahasanya Indonesia. Kalau tidak, ya saya tidak mungkin tahu ini buatan mana,” kata Selamet dalam diskusi 'Mengembalikan Film Indonesia ke Khittah 1950' di kantor PBNU Jakarta beberapa waktu lalu.

Meski memakai bahasa Indonesia, demikian Slamet, kata-kata atau kalimat yang dipilih dalam setiap dialog lebih senang menggunakan bahasa asing, tanpa mau mengindahkan kaidah bahasa Indonesia.

Wowok mengatakan, sinetron Indonesia tidak pernah jelas menunjukkan tempat dimana cerita itu dibuat karena alur cerita diperagakan dari rumah ke rumah. Bahkan keseluruhan cerita mungkin hanya diperagakan di satu rumah produksi yang lebar lengkap dengan taman dan jalan raya.

”Sinetron kita tidak pernah membanggakan landmark di tempat masing-masing. Kalau di Jakarta mestinya kan jelas itu di Monas apa Istiqlal. Kalau di Bandung ya gedung sate atau kampus IPB, kalau di Surabaya ya Tugu Pahlawan, untuk memberikan citra tentang kota tempat mereka berada,” katanya.

Dengan begitu dimensi lokal dan nasional dari sebuah kesenian itu kelihatan. Sebaliknya sinetron Indonesia bahkan lebih senang menyorot lokasi di Hong Kong, Tokyo, New Delhi atau London. Gengsi karya Indonesia kemudian diukur dengan menampilkan kota-kota favorit itu.

Kesenian Indonesia saat ini, kata Wowok, memang berjalan di atas kepentingan kapital, yang ditandai tingginya spirit pragmatisme. Dengan pragmatisme itu semua kaidah kesenian, mulai dari soal estetika, diksi, dan narasi mulai dilupakan.

”Padahal kaidah-kaidah itu adalah persoalan dasar dalam kesenian. Dari situ kesenian dinilai bermutu atau tidak dianggap serius atau picisan,” katanya. (nam)


Terkait