Warta

Ekonomi Neoliberal Terus Dijalankan di Indonesia

Ahad, 7 Juni 2009 | 22:58 WIB

Jakarta, NU Online
Meski belakangan ini pemerintahan Indonesia berusaha menepis tudingan menganut paham ekonomi neoliberal, namun fakta berbicara lain. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kali ini mencoba menghidupkan kembali upaya liberalisasi sektor pertanian yang sempat terhenti dalam perundingan-perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Lewat pertemuan Cairns ke-33 yang diadakan di Bali 7-9 Juni, Mari menyatakan akan kembali menghidupkan kembali putaran Doha yang sempat mandek karena terjadi kemandekan dalam perundingan pertanian.<>

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih kepada NU Online di Jakarta, Ahad (7/6) menyatakan, inisiatif Indonesia untuk menyelenggarakan pertemuan Kelompok Cairns yang menyatakan perang terhadap proteksionisme, mengusung pengurangan subsidi dan meneruskan liberalisasi sektor pertanian nota bene adalah resep para ekonom neoliberal.

“Terlihat jelas dari sikap WTO yang menyokong penuh pertemuan itu. Walaupun ditambah dengan embel-embel perdagangan adil, itu hanya sebatas jargon saja. Tidak masuk akal mewujudkan perdagangan yang adil dalam WTO, dimana pengambilan keputusannya tidak demokratis dan orientasinya sangat neoliberal,” jelas Henry.

Menurut Henry, liberalisasi pasar pertanian dalam prakteknya menindas petani kecil. Sebagai contoh, belum lama ini peternak susu menjerit karena industri pengolahan susu memilih menurunkan harga beli susu di tingkat petani karena harga susu di pasar dunia lebih murah.

Ditambahkannya, liberalisasi pertanian adalah salah satu penyebab krisis pangan global. Apa yang akan dilakukan Kelompok Cairns dalam upaya menghidupkan kembali perundingan WTO tidak akan menjadi solusi bagi krisis global saat ini. “Orientasi ekspor dan pembukaan pasar produk pertanian adalah skema neoliberal yang akan menghancurkan rakyat kecil,” tegas Henry.

Ditengarai, pertemuan Kelompok Cairns ke-33 di Bali hanya akan mendorong agenda Amerika Serikat (AS) untuk melanjutkan kembali putaran Doha. Pemerintah Indonesia harus mewaspadai dan bersikap lebih kritis terhadap tujuan ini. Karena AS adalah salah satu negara yang terbesar menyubsidi perusahaan transnasional di bidang pertanian, tercatat sekurangnya 58 milyar USD per tahun dikucurkan untuk subsidi via skema Overall Trade-distorting Domestic Support (OTDS) dan Green Box di dalam WTO.

Menurutnya, hampir keseluruhan subsidi ini akan menjadi instrumen pelindung perusahaan transnasional di bidang pertanian dan akhirnya berujung pada dumping produk pertanian ke pasar internasional yang terus menghancurkan petani kecil dan pasar domestik. Subsidi pertanian yang dilaksanakan di dalam mekanisme WTO, bukanlah perlindungan terhadap petani kecil, maupun pasar domestik.

“Untuk itu, pemerintah Indonesia harus menuntut agar WTO dikeluarkan dari pertanian, karena pertanian dan pangan bukan hanya sekadar komoditas ekonomi saja, namun menyangkut juga sistem sosial, budaya dan pemenuhan hak asasi manusia,” tegas Henry. (nam)


Terkait