Masjid memiliki peran ganda, sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah dan sebagai sarana untuk membina hubungan antara sesama manusia. Hal ini tercermin dari arsitektur masjid yang terdiri dari ruang dalam dan serambi.
Dalam sejarahnya, rasulullah menjadikan serambi masjid untuk kegiatannya, mulai dari memutuskan perang, mengangkat duta besar dan keputusan-keputusan penting lainnya.<>
Sampai sekarang, arsitektur masjid masih sama, serambi dan ruang dalam, tetapi aktifitasnya sudah jauh berbeda dari zaman Rasulullah yang menjadikannya sebagai pusat segala kegiatan.
“Sayangnya serambi masjid saat ini hanya untuk tidur-tiduran, pusat dari kemalasan,” kata KH Masdar F Mas’udi dalam acara Pendidikan Kader Dakwah LDNU di gedung PBNU, Kamis (27/8).
Untuk menghidupkan kembali masjid ini, Masdar mengusulkan agar di setiap masjid dibentuk Kelompok Anak Ranting (KAR) yang nantinya akan meramaikan kegiatan didalamnya.
“Sehabis jum’atan pertama, rapat syuriyah, jum’atan kedua rapat tanfidziyah, jumatan ketiga, rapat badan otonom dan lembaga dan jum’atan ke empat rapat pleno,” jelasnya.
Pengembangan NU dengan berbasis masjid akan memiliki banyak manfaat dan keuntungan, karena dalam pengelolaan masjid, terjadi keseteraan antara imam dan makmum.
“Jika imam melakukan kesalahan seperti kentut, ia bisa digantikan oleh makmuanya, bahkan peran imam sekarang sifatnya administratif saja yang bisa digantikan,” katanya.
Masjid juga memiliki sifat partisipasif karena setiap kegiatan akan dimusyawarahkan diantara para jamaah dan takmir masjid tentang suatu kegiatan yang akan dilakukan. Kelebihan lain adalah adanya akuntabilitas publik karena setiap pemasukan dan pengeluaran akan dilaporkan kepada jamaah.
Kondisi ini berbeda dengan budaya di pesantren yang tidak ada kesetaraan antara kiai dan santri, tidak adanya musyawarah antara kiai dan santri dan belum berkembangnya akuntalibitas karena semuanya masih menjadi tanggung jawab kiai.
“NU ke depan harus bertumpu pada dua hal, secara kultural di pesantren sebagai tempat tradisi Islam disebarkan dan secara struktural di masjid. NU yang sehat harus memiliki ciri-ciri pengelolaan masjid,” imbuhnya.
Ditambahkannya, struktur organisasi yang berbasis masjid juga akan memperkuat akar NU di luar Jawa karena pesantren di sana kurang bisa berkembang sebagaimana yang terjadi di Jawa. Hanya ada beberapa daerah di luar Jawa yang ada pesantrennya seperti di Lampung, yang juga didirikan oleh orang Jawa yang tinggal di sana. (mkf)