Surabaya, NU Online
Belajar dan terus belajar, itulah yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya atas bangsa-bangsa yang lain. Sebagaimana Malaysia yang mendatangkan guru-guru dari Indonesia dan mengirimkan anak-anak muda mereka ke Indonesia untuk belajar di era tahun 1970-an. Kini mereka telah lebih maju dari bangsa yang dulu telah mendidik mereka.
“Kita harus belajar dari Malaysia ini,” kata Ketua PBNU Dr H Moh Salim Al-Djufri, M.Sos.I kepada NU Online di Surabaya pada Selasa (20/9) malam.
<>
Kunci utama untuk mengejar ketertinggalan itu, menurut Habib Salim, adalah pendidikan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Malaysia. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menyadari hal itu, hanya saja sudah agak terlambat, ketika ketertinggalan sudah terjadi.
“Memang, saat ini sudah ada kesadaran ke sana, hanya saja sudah agak terlambat,” kata mantan Rais Syuriyah PWNU Nusa Tenggara Timur itu.
Diakui, pendidikan memang sedang gencar ditingkatkan di Indonesia saat ini, namun tetap saja kurang, belum berimbang dengan sumber daya manusia yang dimiliki. Sementara Ormas-Ormas Islam yang serius ke bidang pendidikan masih terbatas. Jumlah pondok pesantren juga sudah cukup banyak, hanya saja masih sangat terbatas dalam out put-nya. “Diperlukan penajaman fokus,” kata Habib Salim.
NU, menurut mantan Kakanwil Departemen Agama Provinsi Gorontalo itu, juga perlu melakukan hal yang sama, meningkatkan fokus ke bidang pendidikan. Kalau perlu mengurangi bidang yang lain, karena kunci untuk mengejar ketertinggalan itu adalah pendidikan. “Kalau perlu dakwah dikurangi, seriusi pendidikan,” kata Habib Salim.
Lebih dari itu, alumnus program doktoral UIN Makassar konsentrasi pemikiran Islam itu menghimbau agar tidak lagi dilakukan pembedaan atas ilmu agama dan umum. Semua ilmu pada hakekatnya adalah milik Tuhan dan bernilai penting bagi umat manusia. Setiap orang sebaiknya juga mendalami ilmu-ilmu lain, sebagai penunjang ilmu agama yang telah dikuasai.
“Jangan sampai nanti pinter, tapi sempit wawasan. Seolah hanya dia saja yang pintar, padahal kalau keluar jadi kerdil dia,” tutur Ketua PBNU yang membawahi wilayah NTT, Gorontalo dan Sulawesi Utara itu.
Di sisi lain ia mengaku bangga sebagai orang NU, karena di NU banyak tokoh yang berpikiran moderat, tidak ekstrem. Hal itu dapat terjadi karena di NU memang terbiasa dengan pemikiran yang bebas, tidak semata dogmatik. Meski secara umum, menurut Habib Salim, pendidikan formal di NU kurang bagus, pemikiran para kiainya bagus-bagus. Bahkan tidak sedikit yang pemikirannya melebihi mereka yang telah bergelar profesor.
“Nah, ilmu agama yang dalam itu, kalau ditambah dengan ilmu-ilmu penunjang yang cukup, akan menjadi luar biasa,” tutur mantan dosen Unmuh Kupang itu.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: M Subhan