Warta

Dan Asfiyah Pun Tarawih dan I’tikaf di Istiqlal

Jumat, 5 Agustus 2011 | 11:59 WIB

Jakarta, NU Online
Sosok bertubuh mungil bergamis putih dan berkurudung hitam itu menuruni tangga masjid Istiqlal, masjid yang didirikan semasa presiden Bung Karno, 24 Agustus 1961. Pendirian masjid ini diusulkan sejak tahun 1953 oleh tokoh-tokoh Islam. Salah satunya KH Wachid Hasyim, tokoh NU dan menteri agama RI.

Perempuan itu bernama Nur Asfiyah, asal Banyuwangi, Jawa Timur.  Ia hendak mencari angin di halaman masjid terbesar di Asia Tenggara ini, bergabung bersama ratusan jemaah, sembari menunggu bedug maghrib. Sudah dua hari di masjid megah kebanggan umat Islam Indonesia ini.
<>
Tiba-tiba ponsel Nokia N 73-nya berbunyi. Ia mengangkatnya.

“Hallo, madam. Saya baik-baik saja. Mau oleh-oleh apa? Kalem, saya tidak akan mengecewakan pemirsa…hehe.”

Percakapan itu pun terhenti. Dia berjanji akan membawakan oleh-oleh buat sang bunda di kampung.  

“Saya ingin merasakan i’tikaf dan tarawih di masjid Istiqlal,” jelasnya ketika ditanya maksud ke Istiqlal. “Ketika saya kecil, bapak saya pernah bilang, di Istiqlal itu mirip di Masjidil Haram. Banyak orang,” lanjutnya. 

Gayung pun bersambut, niatnya tercapai ketika kakak sepupu mengajaknya. Tapi tujuan keduanya berbeda. Kakak sepupu dalam rangka urusan bisnis, sementara Asfiyah hendak merasakan bagaimana rasanya berpuasa di luar tanah kelahirannya. Dengan berharap lebih khusuk.

Mereka berangkat pagi pada hari Senin, 01/08 pukul 05.00 dari Banyuwangi ke Bandara Djuanda. Lalu menaiki pesawat Air Lines. Tiba di Jakarta selepas Dzuhur.

“Ternyata Istiqlal menyediakan penginapan. Gratis pula. Saya berkenalan dengan banyak orang dari berbagai daerah. Ada yang dari Banjarmasin, Aceh dan lain-lain. Cuma memang tidak ada tempat untuk nyuci. Jadi, ya harus ke loundry,” ungkapnya.

“Ada yang ngajak tukeran hape. Dia menganggapnya saya orang kaya…hehe. Ada pula yang mengaku kehilangan uang lima ratus ribu. Saya bilang, laporan aja ke pengurus masjid. Eh, dianya nggak mau. Tapi melas-melas, akhirnya saya kasih lima ribu. Kemudian dia pergi,” kenangnya ketika ditanya peristiwa yang dialami.

Sebagaimana jamaah lain, Asfiyah mengikuti pengajian Subuh. Kemudian tadarus, i’tikaf. Tidur sebentar. Shalat berjamaah Dhuhur. Kemudian ada pengajian. Tidur lagi, i’tikaf, berjamaah Ashar, tadarus sambil menunggu buka puasa.

“Tapi biasanya saya mencari makan di luar. Nggak tahu, rasanya nggak enak. Sahur juga begitu.”

Selepas maghrib istirahat. Menunggu Isya. Lalu tarawih.

“Di Istiqlal, ternyata tarawihnya lama. Bisa sampai jam sepuluh (22.00 WIB). Sebelumnya ada tahsin Qur’an, sambutan pengurus masjid, lalu ceramah.”

Menurut jadwal yang dirilis takmir masjid Istiqlal, pengajian malam pertama diisi menteri agama RI dengan tema, “Marhaban Ya Ramadhan, Bulan Peningkatan Ibadah dan Amal”. Malam kedua, Ali Musthofa Ya’kub dengan judul, “Ibadah Puasa Memperkokoh Iman”. Sementara malam ketiga Nasarudin Umar, “Menggapai Insan Kamil”.

“Tarawihnya delapan rakaat. Tapi ada juga yang melanjutkan sampai 23. Saya ikut yang delapan. Capek! Di kampung saya tarawih 23 rakaat, tapi cepat! Jadi, nggak terasa,” tambah gadis kelahiran 1985 jebolan PAI STAIN Jmber ini. Aktivitas sehari-hari sekarang menjadi guru PAUD di kampungnya.

Selama di masjid Istiqlal, Asfiyah yang sempat aktif di PMII komisariat STAIN Jember ini mengalami beberapa kisah unik.

“Saya pernah bareng sama nenek-nenek ke toilet. Dia lari tergopoh-gopoh kebelet kencing. Karena nggak tahan, ia ngompol di lantai. Ketahuan sama petugas kebersihan, eh, malah saya yang dimarahin,” ujarnya dengan nada kesal.

“Ada juga yang tak akan saya lupa. Malam kedua, pas menunggu tarawih, ada ibu-ibu menghampiri saya. Dia bilang, mbak, jangan di situ. Itu tempat sholat saya dari dulu. oh, maaf Bu, kata saya. Saya bergeser ke samping. Dia bergeser lagi. Saya bergeser. Dia mengikuti. Sampai tiga kali. Aneh!” ujar. 

“Tadinya saya akan beberapa hari lagi. Sampai seminggulah. Tapi udah nggak betah. Kakak saya sekarang udah pergi.”

Dengan berat hati, Rabu pagi 03/08 kakak sepupunya sudah melanjutkan urusannya.

“Saya sekarang sendirian. Mungkin besok saya pulang sendiri juga. Naik bus,” tegasnya.

Redaktur: Mukafi Niam
Penulis: Abdullah Alawi


Terkait