Jakarta, NU Online
Dengan menimbang situasi nasional, dukungan ekonomi dan kekuatannya, Indonesia perlu menghindari penggunaan kekuatan militer dan Mahkamah Internasional dalam penyelesaian Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang diklaim Malaysia. Dengan segala kelemahan yang dimilikinya, Indonesia lebih tepat menggunakan cara-cara diplomasi.
“Dengan situasi yang sedang dihadapi Indonesia dan teknologi militer yang tidak imbang, jangan pernah berpikir untuk perang dengan pihak Malaysia,” kata Chalid Mawardi menjawab pertanyaan NU Online, Jumat (11/03) mengenai cara yang lebih tepat untuk menyelesaikan klaim Malaysia terhadap wilayah Blok Ambalat dan Ambalat Timur.
<>Meski demikian, menurut mantan pimpinan Harian Duta Masyarakat ini, dengan diplomasi bilateral, Indonesia harus mempertahankan haknya atas Ambalat yang sangat ditentukan oleh kemampuan Indonesia dalam menunjukkan bukti-bukti legitimasinya.
Menurut Mawardi, di dalam logika hubungan antar bangsa, pihak yang lebih dahulu mengelola pulau yang masih dianggap asing biasanya disebut sebagai pemiliknya.
“Jadi pengelolaan negara tertentu secara lebih awal atas kepulauan yang disengketakan akan sangat menguatkan status kepemilikan wilayah tersebut. Jadi tergantung bendera siapa yang berkibar di sana, siapa yang lebih dulu mendiaminya? tambahnya setengah bertanya.
Menurut ahli hukum laut internasional Hasyim Djalal, sejak 1967, Indonesia telah memberikan konsesi kepada perusahaan minyak, seperti Total Indonesie PSC, BP-British Petroleum, Hadson Bunyu BV, ENI Bukat Ltd, dan Unocal. “Setahu saya, Malaysia tidak melakukan protes terhadap konsesi yang diberikan Indonesia kepada perusahaan – perusahaan minyak multinasional itu,” ungkap Hasyim.
Apakah dengan demikian Indonesia akan memenuhi persyaratan efektivitas secara hukum internasional atas pengelolaan lebih awal terhadap Ambalat? Bukankah Malaysia dimenangkan penguasaannya atas Sipadan dan Ligitan oleh Mahkamah Internasional dengan dalih itu? “Tidak semudah itu,” kata Mawardi.
Pasalnya, lanjut Mawardi, dalam penyelesaian ini tidak cukup hanya dengan bukti bahwa secara de facto, RI lebih dahulu mengelola Blok Ambalat dan Ambalat Timur, pemilihan media penyelesaiannya juga menentukan. Apakah memilih diplomasi bilateral ataukah Mahkamah Internasional?
“Kalau Indonesia memilih Mahkamah Internasional , sangat kecil kemungkinan Indonesia akan menang. Sebab, biayanya tidak kecil. Bisa-bisa dana APBN tersedot ke sana semua. Lain halnya bagi Malaysia, melalui jalur Mahkamah Internasional, ia akan diuntungkan, dia punya uang dan kemungkinan besar juga akan dibantu negara-negara persemakmuran yang lain,” katanya.
Atas dasar itu, Mawardi menganjurkan kepada Pemerintah Indonesia untuk memilih jalan diplomasi bilateral. Dengan jalan bilateral, maka lebih mungkin diperoleh hasil penyelesaian yang adil.
Bukankah adil dalam hal ini berarti kedua-duanya harus memperoleh bagian, Mawardi menjawab, “Kalau alasan yang dikemukakan keduanya sama-sama lemah, maka bisa ditarik garis tengah dengan dikelolah secara bersama,” jawabnya.
Kemungkinan itu, kata mantan salah seorang wakil ketua PBNU di awal era Gus Dur ini, dapat saja terjadi, sebab doktrin shelf continental, di mana titik laut paling dalam ditarik ke atas yang menjadi doktrin penentuan batas wilayah laut Indonesia mungkin tidak dianut oleh Malaysia. Kemungkinan Malaysia menariknya dari darat lalu ditarik ke bawah, sehingga ia bisa mengatakan bahwa kedalaman laut tidak penting untuk dijadikan bukti bahwa ada sekat pemisah antara Sabah dan kedua blok itu. Atas asumsi-asumsi yang bersumber dari doktrin itu, Malaysia juga bisa mengatakan, bahwa terpisahnya Ambalat dari Sipadan oleh laut dalam tidak mengurangi kekuatan klaim dia, sebab dia bisa mengatakan, bahwa Sipadan dengan Ambalat memiliki dasar laut yang sama.
“Indonesia harus menyiapkan diri dalam diplomasi bilateral, buktikan bahwa memang Blok Ambalat dan Ambalat Timur itu merupakan kelanjutan alamiah dari daratan Kalimantan Timur, dan bukan kelanjutan alamiah daratan Sabah,” saran mantan Dubes RI untuk Syria ini.
Nah, bila diplomasi bilateral tersebut mampu menghasilkan penyelesaian yang adil, maka dapat memenuhi internasionally recognize (diakui hasilnya oleh dunia internasional), baik berdasarkan hukum laut atau kalau Indonesia Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
“Jadi ambil jalan diplomasi, jangan jalan Perang, persenjataan Malaysia lebih canggih dibanding Indonesia, apalagi dengan dukungan negara-negara persemakmuran Inggris, kecuali Indonesia bisa ajak Singapura untuk menghadapi Malaysia,” tandasnya.
Saran Mawardi mengenai ketidakberimbangan