Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam bahtsul masail diniyah atau pembahasan masalah keagamaan yang diadakan oleh Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) adalah bagaimana hukum pencabutan alat bantu medis untuk mengaktifkan jantung dan paru-paru pasien yang sudah koma sehingga ia meninggal dunia karena pencabutan alat tersebut?
Bahtsul masail yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Itqon, Jakarta Barat, Kamis (8/7) itu memutuskan, boleh mencabut alat bantu medis bagi orang yang sedang dalam kondisi koma jika diyakini hakikatnya pasien telah meninggal dunia berdasarkan keterangan resmi dari dokter ahli yang menangani pasien.<>
“Kalau oleh dokter secara hakiki sudah dinyatakan meninggal maka alat medis perlu segera dicabut agar jenazah bisa diperlakukan secara Islam. Jika memang secara hakiki sudah meninggal hukumnya malah jadi wajib alat itu untuk dicabut,” kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Arwani Faishal terkait hasil bahtsul masail ini.
Menurut Kiai Arwani, praktik ini berbeda dengan euthanasia atau mempercepat kematian, misalnya dengan memberikan injeksi khusus untuk pasien yang merasa telah lama menderita dan ingin segera meninggal. Untuk kasus seperti ini hukumnya haram. Pemberian injeksi yang mematikan ini sama hukumnya dengan membunuh orang, sementara pasien yang ingin diinjeksi sama halnya dengan bunuh diri.
Hal lain yang dibahas terkait persoalan ini adalah menghentikan pengobatan bagi pasien yang sudah lama berobat di rumah sakit dan tidak kunjung sembuh bahkan tidak ada harapan sembuh, sementara pross pengobatan menelan biaya yang sangat mahal. Praktik ini bukan dalam katagori euthanasia dan dibolehkan atas persetujuan pasien dan keluarga dengan tetap mencari alternatif pengobatan yang lain. (nam)