Anak muda Nahdlatul Ulama (NU) yang bergelut di bidang kajian, pemikiran dan advokasi diharapkan tidak hanya berkutat pada persoalan wacana keagamaan, namun merambah bidang lain yang terkait dengan hajat hidup warga NU (Nahdliyin).
Demikian dikatakan Prof Kacung Marijan, guru besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya dalam diskusi dan bedah buku ”Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati” karangan As’ad Said Ali, di Jakarta, Jum’at (15/8) malam yang dihadiri oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), penyair Acep Zamzam Noor, Direktur Elsam Agung Putri, dan sejumlah kalangan muda NU.<>
Geliat anak muda NU yang semakin menonjol pada dekade 1980-an dan 1990-an terutama sejak tampilnya sosok Gus Dur sebagai inspirator diharapkan membuka trobosan penting lainnya terutama di bidang ekonomi yang menyangkut hajat hidup warga Nahdliyin.
“Wacana keagamaan di kalangan anak muda NU sudah terlalu banyak, tapi wacana ekonomi tidak. Maka bidang ini harus dirambah, kalau tidak NU bisa tergencet juga,” kata Kacung Marijan.
Menurutnya, tantangan anak muda NU adalah perkembangan sistem ekonomi neoliberal yang semakin membabi buta di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru.
”Neoliberalisme telah membikin sengsara warga NU. Maka tantangan warga NU adalah Neoliberalisme itu,” katanya sembari menyodorkan beberapa kekurangan dalam buku Pergolakan di Jantung Tradisi itu ketika membahas soal neoliberalisme, kaitannya dengan NU.
Kacung menambahkan, konsentrasi baru anak muda di bidang wacana ekonomi akan mendukung gerakan politik NU, terutama terkait distribusi sumberdaya alam dan regulasinya.
“Gerakan ekonomi pemuda NU bisa matching dengan gerakan politik NU yang dilakukan oleh para politisi NU yang tersebar di beberapa partai politik dan pemerintahan,” katanya.
Gus Dur yang hadir pada kesempatan itu menolak dirinya dikatakan sebagai gerbong pemikiran anak muda NU. “Saya hanya berbuat yang saya bisa,” katanya.
Namun demikian dirinya sepakat dengan Kacung Marijan tentang perlunya konsentrasi kalangan muda NU di bidang pemikiran ekonomi. Dikatakannya dalam tata ekonomi saat ini bangsa Indonesia dibuat tergantung dengan bangsa lain, tidak bisa berdiri sendiri.
“Barang kita dibeli murah oleh ruang negeri karena tidak bisa langsung diekspor misalnya dilewatkan dulu ke Singapura. Jadi belum-belum kita sudah habis ongkos. Tapi kalau kita membeli mahalnya bukan main. Untuk itu disediakan oleh Bank Dunia dan IMF apa yang dinamakan kredit luar negeri, dan sekarang kredit kita sudah mencapai USD 19,5 miliar. Anak kita baru lahir saja sekarang sudah berhutang Rp. 25 juta rupiah, padahal mereka tidak tahu apa-apa,” kata Gus Dur. (nam)