Makassar. Fenomena radikalisasi pemikiran keagamaan yang menjadi embrio terorisme menjadi salah satu isu yang perlu disikapi peserta Muktamar NU ke-32 di Makassar. Hal ini juga menjadi perhatian serius Alumni Ikatan Pelajar NU.
Ketua Umum Majelis Alumni IPNU Hilmi Muhammadiyah menegaskan pentingnya merawat tradisi pemikiran keagamaan yang mengedepankan "jalan tengah" dan mengaktualisasikan nilai kehidupan pesantren ke dalam perilaku organisasi. r />
"Nilai kepesantrenan yang perlu diaktualkan adalah semangat kesederhanaan, kemandirian, dan paradigma pemikiran yang moderat jauh dari ekstrimitas dan liberalitas" ujar Hilmi Muhammadiyah usai Pembukaan Muktamar di Celebes Convention Center, Selasa (23/3).
Sekretaris Jenderal Majelis Alumni IPNU Asrorun Niam Sholeh menambahkan bahwa NU memiliki tanggung jawab sosial untuk mengarusutamakan paham keagamaan moderat yang berbasis pada nilai Ahlussunnah wal Jamaah.
"Radikalisme pemahaman keagamaan jelas tidak memiliki akar tradisi yang sejalan dengan semangat wasthiyyah. Demikian juga pada kutub lain, pemahaman keagamaan yang liberal juga tidak memiliki basis dalam ajaran Islam", ujarnya.
Sementara itu, memasuki hari pertama Muktamar, muncul beberapa tokoh NU yang disebut-sebut layak memegang kepemimpinan NU lima tahun mendatang. Di jajaran Syuriyah, di samping Dr KH MA Sahal Mahfudh, ada KH Hasyim Muzadi, KH Tholhah Hasan, KH. Ma'ruf Amin, KH Musthafa Bisri, dan Habib Luthfi. Sedang di jajaran Tanfizdiyah ada KH. Said Aqil Siradj, KH Salahudin Wahid, Drs. H. Slamet Effendi Yusuf, MSi, H. Masdar Farid Mas'udi, Drs. H. Ahmad Bagja, dan Prof. Dr. Ali Mashan Musa. Namun, dalam pantauan Duta di arena muktamar, yang mulai menguat untuk Tanfidziyah adalah KH Said Aqil Siraj dan KH Salahudin Wahid.
Sementara itu, untuk posisi Sekretaris Jenderal PBNU nama yang hampir bisa diterima semua tokoh pimpinan NU adalah Drs. H. Hilmi Muhammadiyah, MSi yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Alumni IPNU dan Wakil Ketua PP LDNU.
Ketika dikonfirmasi lebih lanjut, putra Makassar ini menjawab bahwa aktifitas di NU itu intinya adalah pengabdian, dan jabatan apapun adalah amanah. Saat didesak tentang kesiapannya menjadi Sekjen, Hilmi menegaskan kesiapannya jika amanah itu diberikan. "Pada periode Pak Hasyim yang pertama saya telah diberi amanah menjadi Wakil Sekjen, jadi urusan kesekjenan bukan hal baru. Apapun yang diamanahkan muktamar kita harus siap" ujar kandidat Doktor Universitas Indonesia ini merendah. (mad)